Kedaikopilitera.com“Berapa lama diam? Cermin katakan bangkit.” Lagu Iwan Fals “Panggilan dari Gunung” sebenarnya nyaris seperti ultimatum. Di tengah gelas kopi berembun dan tubuh yang gigil, lagu “Panggilan dari Gunung” bukan lagu yang cocok untuk didengarkan sambil menginput data laporan bulanan, Bahkan tak cocok dinikmati sambil menulis puisi. Ini lagu yang membongkar fondasi batin, lalu menuntut Anda bertanggung jawab atasnya.

Lagu ini terdapat dalam album Belum Ada Judul yang dirilis pada tahun 1992 dibawah bendera  Harpa Records. Album ini dianggap menjadi salah satu album terbaik Iwan Fals karena proses rekamannya dilakukan secara live tanpa diedit. Dan Om Iwan hanya bernyanyi memakai gitar dan harmonika yang dimainkan sendiri tanpa band pengiring, tanpa backing vokal.

Iwan Fals tak menyanyi, ia menghardik realitas kita: “Kenapa nadamu murung?” Dan kita? Mungkin kita mendadak merasa seperti karakter dalam film Into the Wild, tapi versi yang tak sempat keluar dari kota, keburu kehabisan jatah cuti.

Gunung sebagai Ruang Epistemik: Antara Nietzsche dan Tersesatnya Google Maps

“Gunung” dalam lagu ini sepertinya bukan sekadar dataran tinggi atau destinasi healing favorit selebgram. Dalam filsafat, gunung adalah simbol pencerahan radikal. Friedrich Nietzsche dalam Thus Spoke Zarathustra menjadikan gunung sebagai tempat di mana tokoh utamanya, Zarathustra, merenung selama 10 tahun sebelum turun kembali membawa kebenaran (yang, tentu saja, ditolak massal—seperti semua kebenaran bagus lainnya).

Gunung adalah tempat kita mengasingkan diri dari dunia yang “terlalu duniawi”. Maka ketika Iwan Fals menyanyikan “panggilan dari gunung / turun ke lembah-lembah”, ia seolah mengirimkan notifikasi eksistensial:

“Sudah cukup kamu di atas sana, sekarang waktunya menghadapi kekacauan di bawah.”

Sayangnya, dalam dunia modern, panggilan seperti ini sering diredam oleh notifikasi media sosial hingga e-commerce. Bahkan Google Maps pun kesulitan menunjukkan arah ke “kesadaran”.

Kalimat “lihat kolam seperti danau” bukan sekadar metafora puitis. Dalam ilmu neuropsikologi, ini dikenal sebagai persepsi yang terdistorsi. Otak kita, saat dilanda stres atau trauma, bisa mengalami apa yang disebut hypervigilance, yaitu respons biologis yang melebih-lebihkan ancaman. Artinya, masalah kecil bisa terasa sebesar planet Nibiru.

Ini mirip adegan dalam film Requiem for a Dream, saat setiap emosi kecil jadi ledakan besar. Lagu ini menggambarkan itu dengan sederhana tapi telak: “kau bawa persoalan, cerita duka melulu.”
Kalimat yang bisa ditujukan pada siapa saja yang mengaku “overthinking”, tapi ternyata cuma butuh minum air putih dan tidur siang. Lalu bangun dan kembali bikin kopi.

Ekologi di Bawah Nada: Deforestasi, Kura-Kura, dan Ironi yang Lucu jika Tidak Tragis

“Pohon-pohon terkurung / Kura-kura terbius”

Bayangkan baris ini dilafalkan dalam konferensi perubahan iklim di Davos. Mungkin ruangan akan sunyi, kecuali bunyi klik mouse dari perusahaan yang baru saja membuka lahan sawit baru di Kalimantan, tambang emas di Sinjai, atau pun tambang galian C di Bulukumba.

Secara ekologis, dua baris itu memuat ironi kolektif kita.

Pohon-pohon terkurung: bisa merujuk pada fragmentasi habitat, di mana hutan tropis kini “disekat-sekat” oleh jalan tambang, pabrik, dan resort eco-friendly (yang ironisnya menghancurkan ekosistem).

Kura-kura terbius: metafora bagi spesies laut yang terkena polusi plastik, logam berat, atau perubahan suhu laut akibat krisis iklim.

Menurut jurnal Science Advances (2021), lebih dari 1.000 spesies kura-kura laut mengalami disorientasi migrasi akibat pencemaran suara dan perubahan iklim. Tapi jangan khawatir, kita masih punya filter Instagram bertema “Save the Ocean”.

Ada yang menyamakan lagu ini dengan adegan pembuka film The Revenant (2015)—di mana alam liar tak lagi memberi tempat, bahkan pada manusia paling tangguh. Seperti Hugh Glass, kita tersungkur karena kita terlalu yakin bisa mengendalikan alam, padahal kita bahkan tak bisa mengendalikan emosi saat sinyal Wi-Fi putus.

Lagu ini sejatinya bukan musik, tapi naskah film ekologis, eksistensial, dan sinematik, yang menunggu untuk “direkam” setiap hari. Mungkin seperti Don’t Look Up (2021), tapi tanpa bintang Hollywood. Hanya kita, cermin, dan kenyataan yang membusuk di ruang tamu.

“Cermin katakan bangkit.” Itu bukan sekadar ajakan. Dalam psikoanalisis ala Jacques Lacan, cermin adalah tempat individu pertama kali menyadari bahwa dirinya terpisah dari dunia. Maka saat cermin bicara, itu berarti kesadaran sedang mengusik ilusi nyaman kita.

Dan ironisnya, kita lebih takut pada refleksi itu dibanding pada debt collector hingga tagihan kartu kredit.

“Panggilan dari Gunung” adalah kompas moral dan spiritual, dilemparkan ke hadapan kita yang lebih suka peta wisata. Ia tidak memberimu jalan keluar, tapi bertanya, “kapan kamu berhenti jadi korban dari narasimu sendiri?”

Lagu ini seharusnya diputar di ruang rapat DPR, di ruang tunggu psikiater, di kantor redaksi, di tenda pendaki, bahkan di mobil yang parkir di depan mal saat hujan turun—karena siapa tahu, seseorang sedang menatap langit dan bertanya dalam hati: “Kapan terakhir kali saya bangkit, bukan sekadar berpura-pura hidup?”***

By Alfian Nawawi

Alfian Nawawi, S.Ikom adalah owner Kedai Kopi Litera. Pendiri komunitas literasi Dihyah PROject dan Pustaka RumPut. Pegiat literasi, penulis buku, esais, cerpenis, penyair, pelukis sketsa, dan jurnalis di Bulukumba, Sulawesi Selatan. Beberapa buku-bukunya yang telah terbit di antaranya "Inspiring Bulukumba" (Mafazamedia, 2014), "Republik Temu-Lawak" (J-Maestro, 2020), antologi seperti "Rumah Putih: Antologi Puisi Serumah" (Ombak, 2013), dan "Wasiat Botinglangi" (Balai Pelestarian Nilai Budaya Provinsi Sulawesi Selatan, 2022).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *