Kedaikopilitera.com – Pagi itu, saya menyeduh kopi. Asapnya naik perlahan, seperti ragu-ragu—tak pasti ke mana harus menuju. Rasanya pahit, tidak karena tanpa gula dan pemanis apa pun, tapi karena linimasa platform X kembali disesaki sesuatu yang, seperti kopi, rupanya harus diteguk perlahan agar bisa paham: “Jadi dokter butuh 211 SKS. Masa jadi Ir Kehutanan cuma 122 SKS? Siapa yang bohong ini?”

Pertanyaan itu dilemparkan dokter Tifa ke langit republik ini pada Sabtu, 31 Mei 2025, lalu mengalir ke mana-mana. Rupanya ia tidak sekadar mempertanyakan perbedaan angka—ia menggugat sesuatu yang lebih dalam: apakah kekuasaan masih membutuhkan dasar kejujuran yang dapat diuji? Atau, cukup tampil meyakinkan saja, dan biarkan yang lain diam?

Di negeri ini, memang masih banyak orang mengagungkan gelar. Nama panjang di kartu nama bisa lebih penting dari apa yang benar-benar dikerjakan. Namun, ijazah bukan hanya soal angka seperti SKS—ia adalah bukti jalan panjang, waktu yang ditempuh, malam-malam yang dikorbankan.

Di sinilah pertanyaan publik menemukan gravitasinya. Ketika mantan Presiden Jokowi, seorang insinyur kehutanan, yang sebelumnya bahkan bergelar “Doktorandus” disebut lulus dengan hanya 122 SKS—sementara standar yang umum adalah144 SKS atau lebih—pertanyaan pun muncul: jika benar, mengapa berbeda? Jika tidak, mengapa sulit dibuktikan?

Dalam The Trial, Franz Kafka menulis tentang seorang pria yang dihukum tanpa tahu kesalahannya. Tapi di sini, yang terjadi adalah sebaliknya: ada pertanyaan, tapi negara seperti marah karena ditanya.

Dokter Tifa, dengan segala kontroversi yang pernah menyertainya, bukan satu-satunya yang bertanya. Ribuan warganet telah lama mengungkit hal yang sama—bukan untuk menjatuhkan, tapi karena publik berhak tahu siapa yang mereka beri mandat kekuasaan. Ini bukan tentang niat buruk, melainkan niat agar terang menjadi terang.

Jika negara takut memperlihatkan selembar ijazah, lalu bagaimana kita bisa percaya pada kebijakan-kebijakan yang jauh lebih rumit dari itu?

Dalam Republic, Plato berbicara tentang philosopher king, pemimpin yang tak hanya berkuasa tapi juga bijak karena ia tahu bahwa kebenaran lebih penting dari citra. Tapi kita tak hidup di Yunani Kuno. Kita hidup di Indonesia, 2025, di mana gelar bisa dibeli, plagiat bisa dimutakhirkan, dan transkrip nilai bisa jadi alat propaganda.

Sementara itu, kebenaran didekati dengan gugatan hukum, bukan klarifikasi terbuka.

Rakyat tak meminta si mantan presiden menjelaskan detail matakuliah Silvikultur atau Ekologi Hutan Tropis. Kita hanya ingin tahu: benarkah ia menempuh jalur akademik yang sama seperti mahasiswa lainnya? Atau ada ‘jalan pintas’ yang hanya tersedia bagi mereka yang “istimewa”?

Bukan perihal SKS saja. Ini adalah pertanyaan tentang integritas. Tentang apakah negara ini masih mau diuji, atau hanya ingin dipuja.

Dari film Catch Me If You Can, kita tahu betapa mudahnya publik tertipu jika hanya mengandalkan presentasi. Tapi negara bukan teater. Dan rakyat bukan penonton yang harus bertepuk tangan setiap kali tirai ditutup.

Seperti kata Nietzsche, “kebohongan yang dipelihara lama akan menuntut lebih banyak kebohongan baru untuk bertahan.” Dan kita, pada akhirnya, akan hidup di republik penuh saling curiga, jika yang paling dasar pun enggan dibuka.

Hari ini, kita tak butuh retorika. Kita hanya butuh bukti. Dan itu, mestinya sesederhana menyeduh kopi. Mengapa serumit itu menunjukkan “ijazah” lalu di-forensik di depan publik?***

By Alfian Nawawi

Alfian Nawawi, S.Ikom adalah owner Kedai Kopi Litera. Pendiri komunitas literasi Dihyah PROject dan Pustaka RumPut. Pegiat literasi, penulis buku, esais, cerpenis, penyair, pelukis sketsa, dan jurnalis di Bulukumba, Sulawesi Selatan. Beberapa buku-bukunya yang telah terbit di antaranya "Inspiring Bulukumba" (Mafazamedia, 2014), "Republik Temu-Lawak" (J-Maestro, 2020), antologi seperti "Rumah Putih: Antologi Puisi Serumah" (Ombak, 2013), dan "Wasiat Botinglangi" (Balai Pelestarian Nilai Budaya Provinsi Sulawesi Selatan, 2022).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *