Kedaikopilitera.com – Pagi itu, di sudut warung kopi pinggir jalan Tanete, saya duduk dengan secangkir hitam yang masih mengepulkan aroma pekat. Di seberang meja, seorang kawan menyulut rokok dan berkata lirih, “Zaman sekarang, kasih masukan ke lurah itu bisa dianggap makar.” Kami tertawa—pahit, tentu saja.

Sebab kalimat itu bukan lelucon. Itu realitas.

Di banyak wilayah, terutama pada level pemerintahan kelurahan dan kecamatan, kritik tak lagi dipandang sebagai vitamin bagi demokrasi. Ia justru dianggap racun. Saran yang membangun dianggap sebagai wejangan buruk. Masukan dilabeli sebagai bentuk perlawanan. Dan orang-orang yang menyuarakannya—warga, tokoh masyarakat, aktivis, bahkan aparat internal sendiri—dianggap pembangkang dan dikucilkan dari lingkaran kekuasaan.

Fenomena ini mengindikasikan gejala yang lebih dalam: ketidakmampuan sebagian pejabat lokal untuk membedakan antara kritik substantif dan serangan personal. Alih-alih merespons dengan sikap terbuka, mereka justru baper, menyulut dendam, dan mengubah relasi sosial menjadi permainan “siapa yang loyal dan siapa yang lawan”.

Dalam demokrasi yang sehat, kritik adalah keniscayaan. John Stuart Mill, dalam On Liberty (1859), menulis bahwa kebebasan berpendapat adalah jantung dari kehidupan publik yang rasional. Bahkan jika hanya satu orang yang memiliki pendapat berbeda, umat manusia tetap tak punya hak untuk membungkamnya. Tapi di tangan para pemimpin lokal yang alergi disentil, prinsip itu berubah menjadi ilusi.

Sikap defensif semacam ini tak lepas dari karakter otoriter yang dibahas oleh Theodor Adorno dalam riset klasiknya tentang authoritarian personality. Pemimpin dengan mentalitas ini cenderung merasa selalu benar, tak tahan dikritik, dan lebih suka dikelilingi oleh penjilat daripada pengingat. Hasilnya, kebijakan pun berjalan dalam lorong sempit, tak berpijak pada realitas rakyat, tetapi pada ego penguasa kecil yang mudah tersinggung.

Dalam dunia kepemimpinan modern, ini juga menunjukkan rendahnya emotional intelligence. Daniel Goleman, pakar kecerdasan emosional, menegaskan bahwa pemimpin yang matang justru terbuka terhadap umpan balik, termasuk yang menyakitkan. Kritik bukanlah peluru, tapi cermin. Tapi sayang, banyak lurah dan camat hari ini lebih takut pada cermin daripada pada kesalahan mereka sendiri.

Di balik itu semua, ada bahaya yang mengintai: matinya partisipasi publik. Ketika warga takut bicara, ketika anak muda memilih diam, dan ketika masukan dianggap ancaman, maka demokrasi berubah jadi monolog kekuasaan. Profesor Miriam Budiardjo dalam Dasar-Dasar Ilmu Politik mengingatkan bahwa partisipasi warga adalah pilar utama dalam sistem politik yang sehat. Jika itu dikebiri, maka tak ada yang tersisa selain topeng demokrasi tanpa jiwa.

Kadang saya berpikir, andai para pejabat lokal ini sesekali duduk di warung kopi biasa—bukan ruang VIP yang penuh basa-basi—mereka akan mendengar kritik dalam bahasa yang paling jujur. Tak ada protokol. Tak ada framing. Hanya suara rakyat yang lelah melihat lorong gelap birokrasi.

Daron Acemoglu dan James A. Robinson dalam Why Nations Fail menulis bahwa penyebab utama kemunduran suatu bangsa adalah karena penguasa menutup pintu terhadap suara rakyat dan lebih memilih mendengar bisikan segelintir elite. Di titik itulah kekuasaan menjadi eksklusif, tertutup, dan berujung pada kejatuhan.

Maka, kepada para lurah dan camat, kami tak datang membawa caci maki. Kami hanya membawa secangkir masukan. Kami tidak sedang melawan. Kami hanya menyentil. Tapi jika sentilan dianggap serangan, jika masukan dianggap musuh, dan jika kejujuran dianggap dosa, maka mungkin yang perlu dikoreksi bukan rakyatnya, tapi cara Anda melihat kritik.

Karena pada akhirnya, yang abadi bukanlah jabatan. Tapi bagaimana Anda dikenang: sebagai pemimpin yang membangun bersama rakyat, atau penguasa kecil yang terlalu sibuk menjaga egonya sendiri.***

By Suriyandi Asbir

Suriyandi Asbir, S.IP adalah penulis muda di Bulukumba, Sulawesi Selatan. Ia telah menerbitkan beberapa buku, termasuk "Rindu Sudah Usai", "Selamat Mengingat", "Kau Hanya Sebuah Fase", dan "Hujan dan Senja yang Tak Lagi Sama". Alumnus FISIP UNHAS Mahassar ini juga aktif di dunia literasi dan organisasi kepemudaan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *