Kedaikopilitera.com – Di medan perang, mulai Gaza, Ukraina-Rusia, hingga perbatasan India-Pakistan, mungkin masih ada para prajurit dan pejuang sesekali bisa ngopi dengan asap mengepul, seperti doa yang ragu-ragu, naik ke langit yang telah lama retak. Tapi, ini bukan tentang kopi.

Kopi memang niscaya serupa peristiwa. Ada yang datang, ada yang pergi, dan yang tinggal hanyalah bayang di dinding. Di 2025, dunia adalah mozaik retak—perbatasan India-Pakistan yang berdarah bagai luka terbuka, isu ijazah palsu Jokowi yang seperti bayang-bayang kabur di cermin, krisis ekonomi global yang merangkak bagai bayi raksasa, dan pemimpin dunia yang, seperti dikatakan Nietzsche, “terlalu manusiawi untuk menyentuh bintang.”

Dalam film Bajrangi Bhaijaan, ingatlah Salman Khan yang berbisik, “Cinta tidak mengenal batas negara,” kemanusiaan seharusnya menjadi jembatan. Tapi di sini, nasionalisme adalah nyala yang membakar desa, dan sejarah adalah abu yang tak pernah dingin. Samuel Huntington, dalam The Clash of Civilizations, menyebut konflik modern sebagai tabrakan identitas. Kashmir adalah lukisan yang robek—warna agama, budaya, dan kekuasaan bercampur, namun tak pernah utuh. Di bawah langit yang patah, tentara di kedua sisi memandang bintang yang sama, tetapi mimpinya bagai kopi yang tak habis.

Di Indonesia, badai lain mengguncang, bagai angin yang mengaduk debu di gang-gang sempit. Isu ijazah palsu Joko Widodo, yang mencuat sejak 2022, bukan sekadar kertas, melainkan cermin yang retak. Kebenaran adalah bayang yang kabur di ujung mata, dan kita mengejarnya dengan tangan yang gemetar.”

Dalam The Truman Show, Jim Carrey menatap dunia yang ternyata sandiwara. Publik Indonesia, seperti dia, berdiri di depan cermin, bertanya: apakah bayangan ini nyata, atau hanya lukisan yang dipoles? Albert Camus berkata, “Kebohongan adalah senja yang indah, tetapi kebenaran membutakan.” Ijazah itu, benar atau palsu, adalah metafora kerapuhan—ketika kepercayaan adalah kaca yang pecah di bawah telapak kaki.

Lebih jauh, dunia menatap bayi raksasa: krisis ekonomi global. Di 2025, inflasi adalah angin yang menderu, resesi adalah badai, dan ketidakpastian adalah tornado. John Maynard Keynes pernah berbisik, “Di masa sulit, kita butuh visi jangka panjang, bukan sekadar napas pendek.” Tapi visi itu bagai burung yang lupa terbang, terperangkap di sangkar retorika.

Yuval Noah Harari menyindir, “Pemimpin kita lebih pandai menulis tweet daripada menulis sejarah.” Krisis ini, seperti dalam One Hundred Years of Solitude karya Gabriel García Márquez, adalah “dunia baru yang belum punya nama.” Ia menakutkan, bagai bayi raksasa yang lahir dari rahim waktu, namun juga mengundang kita untuk melukis ulang langit yang patah.

Dalam Thus Spoke Zarathustra, Nietzsche mencemooh para pemimpin yang “terlalu manusiawi,” dan di 2025, kita melihatnya: pemimpin yang menari di panggung citra, bukan substansi. Seperti dalam film Idiocracy, mereka “memimpin bukan karena cerdas, tetapi karena ada.” Kebijaksanaan adalah bintang yang telah jatuh, dan yang tersisa hanyalah gemerlap palsu dari lampu sorot. Dunia, di bawah langit yang patah, merindukan penyair sejati—mereka yang mampu merangkai puisi dari puing-puing.

Langit dunia retak, tetapi puing-puingnya adalah undangan. Di tepi jurang, kita belajar terbang. Dari Kashmir yang bernyanyi dalam luka, cermin kebenaran yang berbohong di Indonesia, bayi raksasa krisis ekonomi, hingga pemimpin yang lupa diri, dunia ini adalah kanvas yang robek. Namun, seperti kopi yang lahir dari keheningan, kita mungkin masih bisa menyesap hari meskipun seteguk.***

By Alfian Nawawi

Alfian Nawawi, S.Ikom adalah owner Kedai Kopi Litera. Pendiri komunitas literasi Dihyah PROject dan Pustaka RumPut. Pegiat literasi, penulis buku, esais, cerpenis, penyair, pelukis sketsa, dan jurnalis di Bulukumba, Sulawesi Selatan. Beberapa buku-bukunya yang telah terbit di antaranya "Inspiring Bulukumba" (Mafazamedia, 2014), "Republik Temu-Lawak" (J-Maestro, 2020), antologi seperti "Rumah Putih: Antologi Puisi Serumah" (Ombak, 2013), dan "Wasiat Botinglangi" (Balai Pelestarian Nilai Budaya Provinsi Sulawesi Selatan, 2022).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *