Kedaikopilitera.com – Bayangkan ada sekelompok anak muda mengundang Pak Joko Widodo, pemilik nama kecil: Mulyono, untuk ngopi. Duduk di kedai kopi reyot di ujung kampung misalnya, di mana aroma kopi mengepul seperti asap kenangan, menyapa udara dengan hangat, ada canda tawa, dan cangkir tua itu menggenggam cerita dengan tangan penuh kerut?
Anak-anak muda itu harus mengagumi Jokowi karena mampu menyelesaikan kuliah hanya lima tahun di Fakultas Kehutanan UGM, padahal itu era 1980-an. Sungguh super smart! Masa itu, mahasiswa yang pintar saja rata-rata menghabiskan 7 sampai 9 tahun untuk selesai. Prestasi semacam ini harus diapresiasi. Bahkan UGM seharusnya memajang ijazah Jokowi dan membuat monumen khusus di kampus UGM. Karena hanya Jokowi satu-satunya alumnus UGM yang pernah menjadi Presiden RI dan lulusan “super smart”. UGM mestinya tak boleh kalah dengan Erasmus University di Belanda yang memajang ijazah Bung Hatta bahkan ada museum Hatta Building di sana.
Bahkan putra Jokowi, yaitu Pak Gibran pun mestinya demikian. Ijazah SD hingga perguruan tinggi miliknya harus dipajang dengan bangga oleh semua almamaternya, di dalam dan luar negeri. Bahkan Pak Gibran harus rajin menghadiri reuni di semua sekolah dan kampusnya. Sambil diliput media tentunya.

Karena anak-anak muda itu bukan ahli forensik, mungkin mereka hanya akan bertanya soal mengapa foto ijazah pakai kacamata misalnya? Atau juga soal meterai di ijazah, pun soal harga meterai di ijazah tersebut. Mungkin juga ada di antara mereka yang bertanya soal jurusan Teknologi Kayu dan kisah pendakian Silvagama di Gunung Kerinci? Bukan sulit atau tidak mungkin, jika Jokowi tak bohong soal kopi maka dia benar-benar tak mudah diajak ngopi. Bahkan dia tak akan suka jika ada asap rokok.
“Saya merokok aja enggak, ngopi juga enggak, apalagi minum. Enggak tahu kenapa, ya enggak pernah saja,” jelas Jokowi, dikutip dari Merdeka.com pada 22 Februari 2013, saat itu dia masih menjabat Gubernur DKI Jakarta.
Di luar, kabut spekulasi merayap pelan, menyapu jalan-jalan berdebu, menyelimuti pasar dengan dinginnya, dan berbisik di hati: mengapa lentera kebenaran tak dinyalakan? Isu dugaan ijazah palsu, yang kembali menari pada 2025, adalah bayang-bayang lembut yang menutup mata rakyat.
Jokowi, jika benar adalah seorang negarawan, lebih penting lagi, benar-benar seorang alumnus UGM, seharusnya menerima undangan itu, duduk dengan kita, menunjukkan ijazahnya di hadapan media, ahli forensik digital, dan para pakar, bukan untuk menepis kabut, tetapi untuk membebaskan kebenaran, membiarkannya terbang dengan sayap yang berkilau di bawah matahari.
Kebenaran adalah burung yang rapuh. Pada 2025, kabut isu ijazah Jokowi kembali menggeliat, dihembuskan oleh Rismon Hasiholan Sianipar, yang dengan sorot mata detektif menyingkap keanehan font Times New Roman pada skripsi Jokowi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) tahun 1985 sebagai bayang-bayang yang tak wajar. Namun, UGM, seperti pohon tua yang akarnya mencengkeram bumi, menegaskan bahwa Jokowi lulus pada 1985, skripsinya ditik dengan mesin ketik, sampulnya lahir dari rahim percetakan. Frono Jiwo, teman seangkatan, mengisahkan hari-hari kuliah mereka, seolah menenun benang memori menjadi kain kebenaran. Tetapi kabut tetap bergoyang, karena Jokowi memilih diam, bukan menyalakan lentera yang bisa menyapu bayang-bayang.
Seorang negarawan, seperti pelancong dalam Odyssey karya Homer, tidak lari dari badai bayang-bayang, melainkan menghadapinya dengan layar terbuka, membiarkan angin kebenaran mengisi dadanya. Jokowi bisa menerima undangan ngopi itu, duduk di warung sederhana, membuka ijazahnya di atas meja kayu, lalu membiarkan ahli forensik digital dari Badan Siber dan Sandi Negara atau pakar tipografi dari universitas ternama memeriksanya.
Ini soal membiarkan kebenaran bernyanyi, seperti burung yang lepas dari sangkar, sayapnya menyapu kabut hingga langit jernih. Dalam The Prince karya Niccolò Machiavelli, seorang penguasa boleh berbohong, tetapi hanya jika ilusi kejujuran tetap terjaga. Jokowi, yang bukan pangeran Machiavellian, seharusnya memilih jalan yang lebih luhur: keberanian yang lahir dari kerendahan hati, seperti lentera yang menyala di tengah malam.
Dalam sejarah dan fiksi, kisah-kisah ini berulang, seperti nyanyian burung yang terputus di tengah malam. Film The Iron Lady (2011) menggambarkan Margaret Thatcher, diperankan oleh Meryl Streep, sebagai pemimpin yang kadang menyembunyikan kebenaran di balik kabut narasi politik, meninggalkan bayang-bayang keraguan di hati rakyat. Dalam The Favourite (2018), Ratu Anne, yang diperankan oleh Olivia Colman, adalah burung yang terperangkap dalam sangkar intrik, membiarkan kebohongan para pembantunya menutupi sinar kebenaran, seperti kabut yang menyelimuti istana.
Literatur juga penuh dengan penguasa yang memainkan bayang-bayang. Dalam The Count of Monte Cristo karya Alexandre Dumas, elit penguasa menenun kabut kebohongan untuk menjebak Edmond Dantès, mencerminkan betapa mudahnya kebenaran dikorbankan demi kekuasaan. The Hypostasis of the Archons, teks gnostik kuno, berbisik tentang “penguasa” kosmik yang menipu umat manusia dengan ilusi, seperti kabut yang menyapu cakrawala. Film The Last Emperor (1987) menampilkan Puyi, kaisar terakhir Tiongkok, yang terjerat dalam jaringan kebohongan politik, sayapnya patah di bawah beban narasi asing. Serial The Tudors (2007–2010) menggambarkan Henry VIII, diperankan oleh Jonathan Rhys Meyers, sebagai raja yang menggunakan tuduhan palsu untuk membenarkan tindakan brutal, seperti kabut yang menutupi keadilan. Terakhir, House of Cards (2013–2018) menampilkan Frank Underwood, yang diperankan oleh Kevin Spacey, sebagai politikus yang menjadikan kebohongan sebagai lentera palsu, namun akhirnya tersandung di bawah bayang-bayangnya sendiri.
Kisah-kisah ini mengingatkan kita bahwa kebohongan atau kebisuan seorang penguasa adalah kabut yang tak pernah benar-benar sirna. Jokowi, yang telah memimpin negeri ini selama dua periode, memiliki kesempatan untuk menyalakan lentera baru: sebuah undangan ngopi yang menjadi keberanian, di mana kebenaran tidak disembunyikan, melainkan diundang untuk terbang.
Jokowi dan UGM harus menyajikan ijazah ‘asli’, transkrip nilai, catatan pembayaran akademik, foto-foto wisuda, fofo-foto KKN, dokumen KKN, dan lain-lainnya yang dibutuhkan. Lalu menyalakan api logika, dengan analisis forensik dan pengetahuan teknologi percetakan. Ketiga, mengangkat lentera di hadapan media, ahli, dan publik—untuk menerangi jalan ‘kebenaran’ jika memang benar. Dan tentu saja itu bisa menepis tuduhan lain, seperti gugatan Bambang Tri Mulyono pada 2022 atau klaim Muhammad Taufiq pada 2025 tentang ijazah SMA Jokowi.
Bayangkan sebuah acara yang disiarkan langsung: ahli forensik memeriksa metadata dokumen, pakar tipografi menceritakan sejarah font, dan Jokowi, dengan senyum yang penuh kerendahan hati, berkata, “Kalau ijazah saya palsu, mungkin saya juga lupa membangun IKN.”
Di era digital, informasi berlari seperti angin, meninggalkan kebenaran yang tersandung di belakang. Media sosial adalah hutan tempat kabut spekulasi tumbuh liar namun juga pencerahan. Media mainstream, yang seharusnya menjadi penjaga lentera, kadang terjebak dalam tarian kabut, mengamplifikasi bayang-bayang demi perhatian. Jokowi, dengan mengundang media-media mainstream hingga YouTuber untuk meliput pemeriksaan ijazahnya di atas meja ngopi, bisa menenun pencerahan baru. Acara itu akan menjadi nyanyian visual: dokumen diperiksa, fakta diungkap, dan kebenaran dibiarkan terbang, seperti burung yang lepas dari sangkar.
Humor, dalam tradisi Indonesia, adalah cara rakyat mencerna kabut. Candaan di media sosial—“Ijazah Jokowi palsu? Berarti saya juga lulusan Oxford, cuma sertifikatnya terselip di saku!”—adalah meme rakyat yang cerdas.
Dengan melibatkan ahli independen dari Institut Teknologi Bandung atau Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, bahkan ahli forensik digital dari luar negeri, Jokowi bisa memastikan bahwa pemeriksaan dilakukan dengan integritas, menutup ruang bagi kabut baru.
Secara saintifik, kebenaran adalah hasil dari proses yang teliti: pengumpulan data, analisis, verifikasi. Hukum pidana Indonesia, sebagaimana dijelaskan oleh pakar hukum Marcus Priyo Gunarto, mensyaratkan bukti material untuk tuduhan pemalsuan dokumen. Namun, kebenaran, seperti burung, bukan hanya soal fakta; ia juga soal persepsi dan nyanyian hati. Dalam The Republic Plato, penguasa diizinkan berbohong demi kebaikan publik, tetapi hanya jika kebohongan itu memperkuat kepercayaan. Kebisuan Jokowi, menciptakan ruang bagi kabut, melemahkan kepercayaan yang seharusnya menjadi fondasi seorang negarawan.
Jokowi, dengan menunjukkan ijazahnya secara terbuka di atas meja ngopi, tidak hanya akan menjawab kritik, tetapi juga menulis bait baru dalam sejarah politik Indonesia: sebuah transparansi, tentang pemimpin yang memilih lentera di atas kabut. Dalam The Iron Lady, The Favourite, The Last Emperor, atau House of Cards, penguasa yang memilih kebohongan atau kebisuan meninggalkan warisan yang ternoda. Jokowi memiliki kesempatan untuk membangun sesuatu yang lebih abadi: kepercayaan yang lahir dari kerendahan hati dan keberanian.
Kembali ke warung reyot, di mana bau kopi masih bergoyang di udara, cangkir tua itu berbisik lagi, suaranya seperti nyanyian burung di tengah malam. Isu dugaan ijazah palsu Jokowi adalah kabut yang bisa disapu dengan satu tindakan: undangan ngopi yang membawa ijazah. Dengan mengundang media, ahli forensik, dan pakar untuk memeriksa ijazahnya di atas meja kayu, Jokowi bisa mengubah bayang-bayang spekulasi menjadi nyanyian kepercayaan. Ini bukan soal membuktikan tuduhan salah atau akhirnya menghakimi Jokowi pembohong karena ijazahnya ternyata palsu—fakta sudah berbicara—melainkan soal menjadi negarawan sejati, yang menulis kebenaran dengan tangan terbuka.
Seperti cangkir kopi yang diseduh dengan cinta, kepercayaan publik adalah nyanyian yang rapuh, yang membutuhkan kejujuran dan perhatian. Jokowi, dengan satu tindakan sederhana, bisa mengingatkan kita bahwa kebenaran selalu menemukan jalan untuk terbang, asalkan kita membuka sangkarnya. Masalah terbesarnya, sekaligus keanehan terbesarnya adalah: hanya untuk selembar ijazah, Jokowi harus dibela mati-matian oleh buzzer, mengerahkan kuasa hukum, hingga melaporkan dugaan penghasutan ke polisi. Benarlah bahwa Mulyono memang tak suka ngopi.***