Kedaikopilitera.com – Timnas Indonesia U-17 kalah telak dari Korea Utara U-17 di perempatfinal Piala Asia U-17. Skornya? 0-6. Bukan skor main bola di game FIFA yang bisa di-restart kalau kalah, ini skor nyata di ajang resmi. Dan kita kalah, lagi. Kalah telak.

“Enam kosong, Bang. Bukan skor futsal, bukan skor tarkam. Itu skor Indonesia U-17 lawan Korea Utara tadi malam.”

Begitu suara dari ujung meja warung kopi. Gelas kopi hitam masih setengah, rokok tinggal puntung. Tak ada yang kaget. Tak ada yang terkejut. Karena buat kita, kekalahan seperti ini sudah jadi langganan, seperti bonus kuota dari provider yang datang tiap bulan.

Indonesia kalah lagi, dan bukan kalah tipis. Enam gol bersarang tanpa balas. Tapi yang lebih menyakitkan bukan skornya—melainkan kenyataan bahwa ini terasa biasa saja.

Yang bikin geleng-geleng lagi, bukan cuma skornya, tapi euforianya sebelum itu. Kita menang di penyisihan, jadi juara grup, lolos langsung ke Piala Dunia U-17, dan lalu—cling!—semua merasa tugas selesai. Padahal, kompetisinya belum kelar, bos!

Gembar-gembor sebelum waktunya

Indonesia U-17 tampil garang di fase penyisihan. Menang dua kali, lolos langsung ke Piala Dunia U-17, headline media pun riuh. Kamera membidik wajah pemain, caption penuh harapan, federasi tersenyum puas. Tapi kita lupa satu hal: kompetisinya belum selesai.

Kita ini seperti pelari 100 meter yang sudah selebrasi di 70 meter. Lupa bahwa garis finis masih jauh. Lupa bahwa sepak bola bukan tentang permulaan yang meyakinkan, tapi tentang bagaimana kita mengakhiri pertandingan.

Kita terlalu cepat menyeduh kemenangan, padahal airnya belum benar-benar mendidih.

Taktik setengah matang, seperti kopi nanggung

Kalau kita bahas soal taktik, ya sudahlah. Pertahanan kita seperti pintu rumah yang ditinggal terbuka. Korea Utara tinggal masuk, duduk manis, lalu nambah gol tanpa permisi. Koordinasi antarpemain Indonesia? Seperti rapat RT yang nggak ada notulennya—semua ngomong, nggak ada yang nyambung.

Kata Tio Nugroho, pelatih muda yang sedang naik daun, “Itu tim kayak belum kenal. Build-up-nya malu-malu, bertahan kebanyakan bengong. Kalau di lapangan kecil, udah abis tuh bola direbut anak-anak kampung.”

Indonesia bermain seperti orang ngopi pakai gelas plastik—panas di luar, tapi hambar di dalam. Mental tipis, seperti gula di angkringan.

Pemain muda kita dipaksa menang, bukan diajari jatuh. Maka ketika jatuh datang, mereka tak tahu bagaimana caranya bangun.

Kata psikolog olahraga Dian Arisanti, “Pemain kita sering keburu terbebani. Euforia media itu pisau bermata dua.” Dan malam itu, pisau itu menikam mental kita sendiri.

Federasi yang suka proyek, bukan proses

Sepak bola kita ini kaya orang yang suka bikin warung, tapi nggak pernah mikirin stok. Baru buka, udah promosi ke mana-mana. Tapi begitu pembeli datang, teh habis, gorengan dingin, dan kopinya lupa dikasih gula.

Kita lebih suka membangun pencitraan daripada program. Kita lebih doyan headline ketimbang hal-hal sunyi yang membangun kualitas.

Kata Bung Binder, pandit senior, “Sepak bola kita terlalu suka mimpi besar, tapi lupa bangun pagi.” Dan kekalahan ini membuktikan, kita belum bangun-bangun dari mimpi itu.

Filosofi kopi: Kekalahan yang tak Pernah bohong

Ada yang bilang, “Kopi yang baik tidak selalu manis. Tapi ia jujur.” Sama seperti kekalahan—tidak menyenangkan, tapi ia tak pernah berdusta.

Korea Utara datang seperti penyeduh kopi tua—diam, presisi, tahu waktu. Sementara kita sibuk mengatur gaya rambut, mereka sibuk meracik strategi. Kita tenggelam dalam aroma euforia, mereka fokus pada rasa.

Skor 0-6 bukan hanya angka. Ia adalah ampas yang harus dibaca—sebagai pertanda bahwa kita belum selesai belajar. Bahwa kita belum paham cara menyeduh kompetisi.

Kekalahan ini pahit, iya. Tapi seperti kopi tubruk, pahit itu penting. Ia mengingatkan kita: bahwa kemenangan tanpa proses hanya akan menghasilkan kopi yang terlalu encer.

Hari ini, saat kamu menatap skor itu dan menyesap kopi yang mulai dingin, jangan langsung menyalahkan pemain. Tanyakan dulu: sudahkah kita menyeduh sepak bola ini dengan benar? Atau kita masih pakai air setengah panas dan bubuk instan?

Mari kita berhenti jadi peminum euforia. Mari jadi penyeduh sabar. Karena tim juara, seperti kopi nikmat, tidak pernah lahir dari tergesa-gesa.***

By Suriyandi Asbir

Suriyandi Asbir, S.IP adalah penulis muda di Bulukumba, Sulawesi Selatan. Ia telah menerbitkan beberapa buku, termasuk "Rindu Sudah Usai", "Selamat Mengingat", "Kau Hanya Sebuah Fase", dan "Hujan dan Senja yang Tak Lagi Sama". Alumnus FISIP UNHAS Mahassar ini juga aktif di dunia literasi dan organisasi kepemudaan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *