Kedaikopilitera.com – Malam ini, di antara denting jam dan seduhan kopi yang mulai mendingin, kita kembali menaruh harap pada generasi muda Indonesia. Skuad Timnas Indonesia U-17 akan menghadapi Korea Utara dalam duel yang lebih dari sekadar sepak bola. Ini tentang arah, tentang pembinaan, dan tentang sejauh mana kita benar-benar serius membangun fondasi sepak bola nasional.
Namun mari jujur—apakah kita sudah menyiapkan secangkir kopi dengan racikan yang tepat?
Kopi yang belum tuntas diracik
Indonesia lolos ke perempat final bukan tanpa catatan. Inkonsistensi permainan, keputusan teknis yang terkadang membingungkan, dan minimnya kreativitas di lini tengah membuat kita bertanya: apakah tim ini dibentuk dengan filosofi, atau sekadar target jangka pendek?
Pelatih dan federasi kerap bicara soal proses. Tapi proses tanpa arah adalah seperti menyeduh kopi tanpa tahu jenis bijinya. Kita bisa saja terpukau oleh satu-dua pemain bersinar, tapi struktur tim secara keseluruhan masih gamang. Tidak ada formula permainan yang mencerminkan identitas khas Indonesia—apa kita masih mencari?
Korea Utara: Cermin disiplin yang kita takuti
Tim lawan malam ini bukan hanya datang dengan teknik, tapi juga disiplin taktik dan semangat kolektif. Sesuatu yang—mari akui—masih menjadi pekerjaan rumah panjang sepak bola kita. Korea Utara mungkin tidak punya nama besar di klub-klub dunia, tapi mereka paham bagaimana bermain sebagai satu kesatuan.
Di sini kita diuji: mampukah Garuda Muda bermain dengan kepala dingin dan strategi matang, atau hanya mengandalkan semangat sporadis yang mudah layu di menit ke-60?
Terlalu sering kita menaruh beban besar di pundak para pemain muda. Padahal, kopi tidak bisa langsung dinikmati setelah dipetik. Ia perlu proses: dipanen, disangrai, digiling, diseduh. Begitu pula pemain muda—jika tidak dibina dengan struktur, filosofi, dan konsistensi, kita hanya akan terus berharap pada “generasi emas” yang selalu datang lalu hilang tanpa bekas.
Kritik untuk para penikmat: Media dan publik
Dan kita pun tak luput dari kritik. Media terlalu sering menciptakan “pahlawan semalam”, publik terlalu gampang memuja dan mencaci. Padahal yang dibutuhkan anak-anak ini bukan tekanan tak sehat, tapi ekosistem yang mendukung: fasilitas, pendidikan taktik, dan kesinambungan dari level usia muda ke profesional.
Malam ini, kita akan kembali menonton dengan dada berdebar. Tapi sembari menyeruput kopi terakhir, marilah kita tanya diri sendiri: apakah kita benar-benar sedang membangun masa depan sepak bola, atau hanya menikmati pertunjukan sesaat?
Karena secangkir kopi tak akan bermakna, jika kita lupa menyiapkan ladang dan bijinya.***