Kedaikopilitera.com – Musim demi musim, Arsenal tampil seperti pahlawan dalam babak pembuka sebuah drama besar: gagah di awal, ragu-ragu di tengah, dan jatuh menjelang akhir. Sejak ditangani Mikel Arteta pada Desember 2019, The Gunners menunjukkan perkembangan yang signifikan—struktur permainan lebih rapi, transisi membaik, dan skuad kian matang. Namun, seperti kata pepatah, “buah belum tentu jatuh jauh dari pohonnya”—begitu pula Arsenal yang tampaknya masih mewarisi trauma pasca-Wengerian: tampil menjanjikan, tapi gagal pada saat yang paling menentukan.

Musim 2022/2023 menjadi potret terjelas dari konsistensi semu itu. Arsenal memimpin klasemen selama 248 hari—terlama dalam sejarah Premier League tanpa menjadi juara, menurut data Opta. Bahkan, penulis olahraga ternama Jonathan Wilson dalam The Guardian menyebut Arsenal sebagai “tim dengan filosofi jelas tapi daya tahan mental yang rapuh.” Arteta memang telah membangun struktur permainan menyerupai miniatur Guardiola, namun kehilangan elemen-elemen penting seperti naluri membunuh dan determinasi saat berada dalam tekanan.

Mikel Arteta: Filosof cerdas yang kurang ngopi?

Ada ungkapan sarkastik di kalangan fans: Arteta kurang ngopi. Ia terlalu tenang saat dibutuhkan api. Sementara Jurgen Klopp mengaum di pinggir lapangan, Arteta terlihat seperti dosen tenang yang sedang menjelaskan pressing inverted full-back kepada mahasiswa tingkat akhir. Padahal dalam sepak bola, determinasi seringkali menular dari pinggir lapangan.

Arteta bukan tanpa emosi. Ia kadang meledak, tapi lebih sering frustrasi teknis ketimbang membakar semangat pemain. Dalam laga krusial seperti melawan Liverpool di Anfield atau Manchester City di Etihad, Arsenal tampak kehilangan nyali, bukan sekadar kehilangan bola.

Martin Keown, mantan bek Arsenal, pernah berkata dalam ulasannya di BBC Sport:

“Tim ini cerdas, tapi terkadang mereka terlalu cerdas untuk kebaikan mereka sendiri. Sepak bola perlu kecerdasan, tapi juga sedikit kegilaan.”

Senada dengan itu, Roy Keane menyindir Arsenal sebagai tim yang “terlalu sopan”:

“Kamu tidak bisa menjuarai liga hanya dengan bermain rapi dan bersih. Kamu butuh pemimpin, karakter, dan kadang-kadang… pemain yang siap bertarung melebihi batasnya.”

Konsistensi yang gagal jadi konklusi

Secara statistik, Arsenal musim ini luar biasa. Dominasi penguasaan bola mencapai lebih dari 60% di banyak laga, pressing ketat, dan pertahanan solid. Tapi sepak bola bukan matematika. Data tak bisa menggantikan mentalitas. Jamie Carragher bahkan menyebut Arsenal sebagai:

“Tim yang bermain seperti juara, tapi berpikir seperti tim kecil.”
Julien Laurens, analis sepak bola Prancis dari ESPN, menilai Arteta terlalu kaku dalam taktik:

“Dia harus lebih lepas. Sepak bola bukan laboratorium. Momen-momen terbaik justru lahir dari kekacauan, bukan kalkulasi.”

Di sini kritik “kurang ngopi” terasa relevan: Arteta perlu lebih berani mengambil risiko emosional, bukan hanya taktik. Ia butuh kopi pahit, bukan hanya skema manis.

Solusi: Tambah kopi, kurangi ketakutan

Mungkin yang dibutuhkan Arsenal bukan skema baru, tapi mentalitas baru. Bukan soal mengganti pemain, tapi menanamkan nyali. Gelar juara bukan diberikan kepada tim paling indah, tapi kepada tim yang bisa membunuh permainan saat dibutuhkan.

Gary Neville, dalam wawancaranya untuk Sky Sports, menyebut:

“Arsenal sedang berkembang, tapi selalu ada sisi lembek yang muncul di saat-saat genting.”

Dan jika musim ini berakhir seperti musim lalu—dengan posisi runner-up yang menyakitkan—maka sejarah akan mencatat Arteta sebagai pelatih cerdas yang terlalu steril. Arsenal butuh emosi. Butuh kapten yang membentak. Butuh pelatih yang menyulut api, bukan sekadar menyusun taktik.

Musim ini bisa menjadi milik Arsenal, tapi hanya jika mereka berani berubah: dari kontestan yang filosofis menjadi pemangsa yang brutal. Jika tidak, maka lagi-lagi mereka akan dicatat sebagai tim yang memimpin namun tak pernah mengangkat trofi. Dan untuk itu, mungkin memang benar: Mikel Arteta harus segera menyeduh kopinya. Hitam. Tanpa gula.***

By Suriyandi Asbir

Suriyandi Asbir, S.IP adalah penulis muda di Bulukumba, Sulawesi Selatan. Ia telah menerbitkan beberapa buku, termasuk "Rindu Sudah Usai", "Selamat Mengingat", "Kau Hanya Sebuah Fase", dan "Hujan dan Senja yang Tak Lagi Sama". Alumnus FISIP UNHAS Mahassar ini juga aktif di dunia literasi dan organisasi kepemudaan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *