Kedaikopilitera.com – Pagi belum benar-benar datang ketika lampu swalayan modern di jantung Kecamatan Bulukumpa sudah menyala terang. Pintu geser otomatisnya terbuka dengan suara lembut, menyambut pelanggan pertama. Sementara di seberangnya, warung kecil milik Daeng Ramang masih sunyi. Gembok belum dibuka, dan tak ada rak yang dirapikan. Hanya meja kayu, bangku plastik, dan termos berisi kopi hitam yang mulai dingin.
“Apa bisa bersaing, Nak?” tanya Daeng Ramang tempo hari, sambil menatap bangunan megah berlogo merah cerah. Tangannya menggenggam cangkir kopi yang aroma arangnya masih terasa. Ia tak sedang bertanya padaku. Ia sedang bertanya pada zaman.
Pasar yang bergeser diam-diam
Bulukumpa, sebuah kecamatan di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, dulunya bertumpu pada ekonomi rakyat: kios kecil, warung kelontong, dan pasar-pasar tradisional. Tapi hari ini, wajah itu berubah. Dalam kurun dua tahun terakhir, sudah berdiri enam swalayan modern besar di wilayah ini.
Regulasi yang ada memang membatasi jam operasional—buka pukul 09.00 pagi, tutup pukul 22.00 malam. Tapi aturan itu seperti pagar yang hanya menjaga waktu, bukan jumlah. Dan ketika jumlah tak dibatasi, pasar swalayan pun menjamur seperti cendawan di musim hujan.
Mereka menawarkan sesuatu yang sulit ditolak: kenyamanan, AC dingin, rak tertata, diskon, dan sistem pembayaran digital. Tapi di balik gemerlap itu, ada yang perlahan memudar: warung di tikungan gang, kios kecil di pinggir lapangan, toko kelontong yang dulu jadi tempat mengutang bumbu dapur.
Apa yang terjadi di Bulukumpa sejatinya bukan fenomena lokal semata. Ini adalah potongan dari skenario ekonomi global yang disebut neoliberalisme—sebuah sistem yang, menurut David Harvey dalam A Brief History of Neoliberalism (2005), menggeser kekuasaan dari negara ke pasar, dari komunitas ke korporasi.
Neoliberalisme bekerja halus. Ia tidak memaksa, tidak melarang. Tapi ia membuat kebijakan seolah netral, membebaskan, dan efisien. Namun, sebagaimana diperingatkan oleh Harvey, kebebasan dalam neoliberalisme hanya milik mereka yang punya modal.
Milton Friedman dalam Capitalism and Freedom (1962) memang membela pasar bebas sebagai jalan efisiensi. Tapi seperti disoroti oleh banyak ekonom kontemporer—termasuk Joseph Stiglitz dan Thomas Piketty—pasar bebas tak pernah benar-benar bebas. Ia dikendalikan oleh kekuatan yang sudah lebih dulu mapan.
Di Bulukumpa, swalayan modern datang membawa sistem itu. Mereka tidak sekadar berjualan; mereka menguasai lanskap konsumsi. Mereka mendikte harga, waktu, dan kebiasaan belanja masyarakat.
Kisah-kisah kecil yang tak masuk statistik
Sebuah studi oleh Dwi Suhartini (2017) menyebutkan bahwa keberadaan ritel modern menyebabkan turunnya pendapatan pedagang tradisional hingga 30–40% dalam waktu tiga tahun. Tapi siapa yang mencatat kisah Ibu Marni yang terpaksa menutup tokonya setelah 15 tahun karena kalah bersaing? Siapa yang menulis kesepian kios milik Pak Jono yang kini hanya buka tiga hari seminggu?
Inilah yang tidak tampak dari laporan resmi. Bahwa di balik pertumbuhan ekonomi, ada kehidupan yang mundur perlahan. Dan bahwa di balik deretan etalase swalayan, ada ekonomi rakyat yang mulai goyah.
Ekonomi yang tidak setara
J.H. Boeke dalam teori economic dualism-nya menjelaskan bahwa sektor ekonomi modern dan tradisional akan berjalan berdampingan tapi tidak pernah setara. Yang satu tumbuh dengan dukungan teknologi, modal, dan sistem; yang lain bertahan dengan loyalitas, utang kepercayaan, dan jam kerja fleksibel.
Ketimpangan ini makin tajam ketika pemerintah daerah tidak mengambil kebijakan struktural. Membatasi jam operasional saja tidak cukup. Yang dibutuhkan adalah pembatasan jumlah. Satu atau dua swalayan per kecamatan mungkin masih bisa ditolerir. Tapi enam? Dan mungkin akan jadi sepuluh? Itu bukan lagi pertumbuhan. Itu dominasi.
Kapitalisme yang harus diatur, bukan dimusuhi
Kita tidak sedang mengajak memusuhi swalayan modern. Kita hanya meminta penataan yang adil. Swalayan bisa hidup, tapi kios juga harus bisa bertahan. Pasar modern boleh berkembang, tapi tidak dengan menelan pasar tradisional.
Solusinya bukan hanya pada regulasi jumlah, tapi juga perlindungan terhadap toko-toko kecil: akses ke subsidi, pelatihan digital, bantuan promosi lokal, hingga pemberdayaan koperasi rakyat.
Faisal Basri pernah berkata, “Pasar bebas hanya adil bila negara hadir untuk menjaga keseimbangannya.” Di Bulukumpa, negara harus mulai hadir—bukan hanya sebagai pembuat aturan jam buka, tapi sebagai pelindung wajah ekonomi lokal.
Secangkir kopi yang masih jujur
Saya kembali ke warung Daeng Ramang. Kopi tinggal setengah, tapi aromanya masih kuat. Tidak dibungkus merek, tidak diseduh mesin. Hanya air panas, bubuk kopi, dan cerita. Di tempat seperti inilah ekonomi rakyat berdenyut. Bukan hanya karena transaksi, tapi karena rasa percaya.
Kalau semua swalayan dibiarkan tumbuh tanpa batas, kita akan kehilangan lebih dari sekadar warung kecil. Kita akan kehilangan ruang interaksi, kehilangan kearifan lokal, kehilangan ekonomi yang manusiawi.
Karena pada akhirnya, hidup bukan soal siapa paling cepat dan paling murah. Tapi siapa yang masih peduli dan memberi ruang bagi yang kecil untuk tetap hidup.***