Kedaikopilitera.com – Bayangkan segelas kopi di pagi hari. Awalnya hangat, aromanya menggoda, tapi dibiarkan terlalu lama, ia jadi dingin, kehilangan pesona. Begitulah nasib pasar tradisional saat ini. Maraknya toko online seperti Shopee, Lazada, dan sejenisnya telah menggerus penjualan pakaian di pasar tradisional dengan kejam dan tak kenal ampun. Ini bukan sekadar tren, tapi pergeseran besar yang mengubah cara kita berbelanja—dan meninggalkan para pedagang tradisional dalam keputusasaan.
Shopee dan Lazada bukan cuma platform belanja; mereka adalah raksasa digital yang menawarkan kemudahan, harga murah, dan banjir diskon. Data dari Statista (2023) menunjukkan bahwa e-commerce di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, tumbuh hingga 20% per tahun, dengan nilai transaksi mencapai miliaran dolar. Pakaian, salah satu kategori terlaris, jadi senjata utama mereka. Siapa yang bisa menolak kaos seharga Rp20.000 dengan gratis ongkir, sementara di pasar tradisional harga yang sama cuma dapat kain perca? Studi dari journal of Retailing and Consumer Services (2022) menyebut bahwa 68% konsumen beralih ke online karena faktor harga dan kenyamanan. Pasar tradisional, dengan tawar-menawar dan panasnya hari, tak bisa bersaing.
Lihat Pasar Tanah Abang, misalnya. Dulu ramai, kini sepi. Pedagang mengeluh omzet turun hingga 70%, sebagaimana dilaporkan kompas (2024). Tokoh pedagang di sana bilang, “Pembeli lebih suka scroll Shopee daripada capek jalan ke kios.” Ini bukan salah mereka. Konsumen modern ingin cepat, praktis, seperti menyeruput kopi instan—tak perlu menunggu lama. Tapi bagi pedagang tradisional, ini seperti kopi yang tumpah sebelum diminum: sia-sia.
Tentu, ada sisi positif. UMKM kecil bisa naik kelas lewat Shopee dan Lazada, menjangkau pasar yang dulu tak terbayang. Tapi ironisnya, pedagang pasar tradisional jarang punya akses atau literasi digital untuk ikut serta. Mereka tertinggal, seperti ampas kopi di dasar gelas—dilihat, tapi tak disentuh. Penelitian dari MDPI (2023) dalam “Marketing Sustainable Fashion” menegaskan bahwa e-commerce memang membuka peluang, tapi juga memperlebar jurang ketimpangan antara yang melek teknologi dan yang tidak.
Pemerintah coba menengahi, misalnya dengan aturan larangan social commerce seperti TikTok Shop jualan langsung (Peraturan Menteri Perdagangan No. 31/2023). Tapi ini cuma tambal sulam. Shopee dan Lazada tetap raja, dan pasar tradisional terus merana. Solusinya? Harus tegas: subsidi digitalisasi untuk pedagang tradisional, pajak lebih ketat untuk e-commerce raksasa, dan kampanye belanja lokal yang bertenaga. Tanpa itu, pasar tradisional akan jadi kenangan, seperti kopi yang lupa diminum—dingin, hambar, dan terbuang.
Jadi, saat kita menikmati diskon di Shopee sambil ngopi, ingat: setiap klik kita mungkin mematikan lampu di kios pasar. Pilihan ada di tangan kita—mau kopi hangat dari pasar atau instan dari layar?***