Kedaikopilitera.com – Kopi, menurut filsuf warung yang selalu minta rokok gratisan, adalah makhluk penutup luka: hitam, pahit, dan pura-pura kuat meski cangkirnya retak. Pagi ini, saya menatap secangkir kopi di meja—uapnya gemetar, seolah tahu dunia sedang krisis. “Tenang,” bisik saya, “Trump cuma bikin tarif 32 persen, bukan minta kamu jadi presiden!” Tapi kopi itu tak tertawa. Ia tahu, di balik rambut kuning jerami Trump yang mirip wig badut, ada ancaman nyata: ekonomi global ambruk, Indonesia terjepit, dan kopi kita—yang dulu jadi primadona—kini jadi penutup lubang di pasar yang lebih kacau dari drama sinetron. Filosofi kopi hari ini? Ia tak beda dengan kita: “Seruput harimu dengan pura-pura tenang meski hambar!” Padahal, di kampung saya pun, Bulukumba, Pak Bupati sudah jujur mengakui bahwa krisis ekonomi kali ini kemungkinan lebih parah dibanding krisis 1998!
Krisis ekonomi global kini bukan lagi bayang-bayang di ufuk, melainkan tamu tak diundang yang duduk di sofa kita, minum kopi kita, dan mengacak-acak buku tabungan. Indonesia, negeri yang biasa menari di atas ketidakpastian, kini menghadapi ancaman baru: perang tarif Trump. Di satu sisi, ada peluang—jika Tiongkok tersandung tarif 34 persen, kopi kita bisa jadi penutup lubang di pasar Amerika. Tapi di sisi lain, jika ekonomi global melambat, siapa yang mau membayar mahal untuk secangkir robusta Lampung? Seperti kata filsuf kopi rekaan, “Hidup itu seperti espresso: pendek, pahit, dan kau tak pernah tahu kapan mesinnya mogok.”
Menurut laporan The Economist pada 7 April 2025, perang dagang Trump—dengan tarif impor yang belum pernah terjadi sebelumnya—telah membuat pasar saham global kehilangan US$6,4 triliun dalam dua hari. Indeks Russell 3000 ambruk, harga tembaga merosot, dan kopi? Oh, kopi kita jadi penutup mata investor yang tak bisa tidur. Tarif 32 persen untuk Indonesia bisa memotong ekspor kita hingga 15 persen, terutama komoditas seperti kopi, tekstil, dan furnitur. Rupiah, yang sudah lelet jalannya seperti kura-kura di lumpur, bisa terancam makin terpuruk.
Bayangkan Trump, dengan gestur tangan bak konduktor orkestra yang kehilangan irama, berkata, “Kopi Indonesia? Too expensive! I’ll make my own, great American coffee, the best!” Lalu kita membayangkan dia mencoba menanam kopi di Florida, di antara buaya dan rawa-rawa, hasilnya mungkin secangkir air keruh yang dia jual sebagai “patriot brew.”
Saya teringat film The Big Short (2015), ketika Christian Bale memainkan drum sambil memprediksi krisis finansial 2008. Bedanya, kali ini tak ada drum, hanya suara cangkir kopi yang berdenting di meja pedagang pasar yang panik. IMF memperingatkan, jika perang tarif ini berlanjut, pertumbuhan ekonomi global bisa turun dari 3,1 persen jadi 2,3 persen pada akhir 2025. Indonesia, dengan ketergantungan pada ekspor dan investasi asing, ibarat penari yang kehilangan irama—langkahnya goyah, kostumnya basah keringat.
Dalam buku Deglobalization: Ideas for a New World Economy (2005), Walden Bello menulis bahwa proteksionisme seperti ini adalah bumerang: melindungi satu pihak, tapi menusuk banyak pihak lain. Tarif Trump mungkin menyelamatkan petani kedelai Ohio, tapi petani kopi Aceh? Mereka mungkin harus menjual biji kopinya ke tetangga sebelah dengan harga miris, atau lebih parah, jadi penutup lubang di pasar lokal yang sudah kelebihan stok.
Saya membayangkan suasana di kedai kopi pinggir sawah: asap rokok kretek bercampur aroma kopi tubruk, para petani duduk melingkar, tertawa getir. “Kata Trump, kopi kita mahal,” kata Pak Mamat, “padahal dia yang bikin mahal!” Tawa mereka pecah, tapi matanya kosong. Atmosfernya tebal, seperti kabut pagi di dataran tinggi Gayo—penuh harap yang tersumbat realitas.
Tarif Trump juga memukul negara ASEAN lain: Thailand 36 persen, Vietnam 46 persen. Vietnam, raja kopi robusta dunia, mungkin bertahan, tapi Indonesia? Kita ibarat adik kecil yang ikut bertanding tinju melawan juara kelas berat. Kopi kita, yang dulu diseduh di kafe-kafe hipster Brooklyn, kini terancam jadi stok gudang yang berdebu.
Ada puisi Chairil Anwar yang terngiang, “Aku ini binatang jalang”—mungkin itu kita sekarang, berlari liar mencari celah di tengah tarif dan krisis. Tapi ada humor di sini juga: dunia ini seperti teater absurd karya Samuel Beckett, Waiting for Godot. Kita menunggu solusi, tapi yang datang cuma kebijakan aneh dan cangkir kosong. Analogi lainnya? Kopi kita seperti kekasih yang ditinggal pergi: dulu dicintai, kini ditinggalkan karena “ada yang lebih murah.”
Namun, jangan terlalu murung. Keanggotaan Indonesia di BRICS bisa jadi tameng. Jika kita mainkan kartu ini dengan cerdas—memperkuat kerja sama dengan Brasil, India, atau Rusia—kopi kita mungkin menemukan pasar baru. Tapi ini butuh inovasi, seperti yang dia katakan: “Inovasi adalah kata kunci.” Mungkin saatnya kita bikin kopi fermentasi rasa rendang, atau kopi instan beraroma durian—siapa tahu Trump tergoda menciumnya.
Saya terbiasa menulis ‘esai kopi’ dengan menyesap tetes kopi terakhir sebelum berhenti menuliskannya. Pahit, tapi hangat. Krisis ekonomi global memang ancaman, tapi bukan akhir cerita. Tarif Trump mungkin membakar dompet kita, tapi ia juga membakar semangat untuk bertahan. Seperti biji kopi yang disangrai: makin panas, makin harum. Indonesia, dunia, dan kopi kita akan baik-baik saja—selama kita tak kehilangan selera humor. Jadi, mari kita seduh satu cangkir lagi, tertawa pada kekonyolan ini, dan berbisik pada Trump dalam diam: “Coba dulu kopiku, baru bicara tarif.”***