Kedaikopilitera.com – Pagi ini, cangkir kopi di meja kayu tua berbau tanah dan asap, uapnya melayang seperti kabut tipis di pasar pagi. Di luar, dunia berderit pelan, seolah tetes terakhir kopi di dasar cangkir tahu sesuatu yang tak diucapkan—tentang tarif impor Trump yang, sejak 5 April 2025, mengguncang perdagangan global seperti badai di pelabuhan. Saya jadi berpikir, mungkin Trump lupa ngopi sebelum mengeluarkan kebijakannya.

Dunia pagi ini, seperti lembaran rapuh kisah dalam The Great Gatsby karya F. Scott Fitzgerald atau seperti halaman usang kisah dalam To Kill a Mockingbird karya Harper Lee—penuh ketidakpastian.

Saya menyeruput kopi, dan rasanya pahit, sedikit asam, seperti berita yang mengalir dari Reuters, Trump, dengan jaket biru tua dan suara yang bergema, mengumumkan tarif 10% untuk semua barang asing masuk AS, ditambah 32% untuk ekspor Indonesia seperti biji kopi robusta. Di film Good Will Hunting (1997), secangkir kopi di meja kafe Boston adalah jeda bagi Will untuk memikirkan hidup. Di Jakarta, seorang pedagang kopi di Pasar Baru menatap ponselnya, membaca NBC News, dan menghela napas—tarif itu bukan sekadar angka, tapi beban di pundaknya.

Kopi adalah cermin. Ia menangkap bayang-bayang dunia. Di Beijing, para pejabat menyebut tarif ini “pemerasan sepihak,” menurut BBC, sementara Roma meratap atas anggur dan pasta yang terancam, seperti ditulis CNBC. Di Wall Street, pasar saham ambruk 4%, lapor The New York Times, dan JP Morgan memprediksi peluang resesi global kini 60% menurut Reuters.

Saya membayangkan petani kopi di sebuah lereng pegunungan di Nusantara, cangkirnya bergoyang bukan karena tangan, tapi karena ketidakpastian yang merayap seperti uap yang dingin.

Tapi kopi juga sudut pandang. Dalam novel The Brief Wondrous Life of Oscar Wao karya Junot Díaz, kopi adalah ritual keluarga Dominika, pengingat bahwa hidup berjalan meski dunia retak. Trump menyebut tarifnya “Hari Pembebasan”, lapor Reuters, tapi bagi petani di Kolombia atau Lampung, itu bayang-bayang panjang.

Laporan The Guardian menyorot Shein dan Temu yang tersendat karena celah de minimis Rp12,8 juta ditutup. Mobil dari Meksiko bisa melonjak Rp160 juta. Di Jakarta, Presiden Prabowo memilih diplomasi, tapi suara industri menuntut balasan. Kopi di tangan saya jadi kaca: setiap orang melihat dunia dari sisi cangkirnya sendiri.

Ada adegan di No Country for Old Men (2007) ketika Sheriff Bell duduk di kedai, menyeruput kopi, dan merenungkan dunia yang tak lagi ia kenali. Tarif Trump menciptakan momen serupa—jeda yang berbau ketidakpastian. Agen bea cukai AS mulai mengutip tarif sejak pukul 00:01 EDT, lapor Reuters. Pelabuhan Baltimore penuh kapal yang berderit, menanti nasib kargo mereka. “Tarif ini sepadan,” kata Menteri Perdagangan Howard Lutnick, tulis NBC News. Tapi sepadan untuk siapa?

Saya meneguk kopi terakhir. Ampasnya tak ada, tidak seperti pertanyaan yang tak terjawab. Dalam puisi “Hujan di Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono, hujan adalah sahabat yang hadir tanpa kata. Kopi saya pagi ini juga begitu—ia tak menjelaskan dunia, hanya menemaninya. Di luar, berita terus mengalir, seperti uap yang hilang di udara, dan saya hanya punya cangkir kosong di tangan.***

By Alfian Nawawi

Alfian Nawawi, S.Ikom adalah owner Kedai Kopi Litera. Pendiri komunitas literasi Dihyah PROject dan Pustaka RumPut. Pegiat literasi, penulis buku, esais, cerpenis, penyair, pelukis sketsa, dan jurnalis di Bulukumba, Sulawesi Selatan. Beberapa buku-bukunya yang telah terbit di antaranya "Inspiring Bulukumba" (Mafazamedia, 2014), "Republik Temu-Lawak" (J-Maestro, 2020), antologi seperti "Rumah Putih: Antologi Puisi Serumah" (Ombak, 2013), dan "Wasiat Botinglangi" (Balai Pelestarian Nilai Budaya Provinsi Sulawesi Selatan, 2022).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *