Kedaikopilitera.com – Idulfitri juga diakrabi kopi. Silaturahmi jadi kewajiban yang mekanis. Di media-media lokal, ada berita soal dana desa yang “hilang” di tangan oknum—tapi siapa yang peduli? Kita sibuk menghitung sisa kue dan memuji kopi tuan rumah yang katanya dari biji terbaik, meski rasanya sama saja. Dalam The Stranger karya Camus, Meursault menemukan kedamaian dalam ketidakpedulian. Mungkin kita pun begitu: damai dalam pahitnya kopi, dalam lubang jalanan Bulukumpa-Kajang, dalam silaturahmi yang kadang pura-pura hangat.
Kopi itu hitam, seperti bayang-bayang yang tak pernah pergi dari meja silaturahmi. Di Bulukumba, Idulfitri adalah ritual tahunan yang penuh kontradiksi: kita merayakan kemenangan dengan wajah lelah, menyuguhkan cangkir-cangkir kecil berisi cairan pahit, lalu pura-pura tak tahu bahwa ampasnya menyimpan cerita lebih jujur daripada senyum tuan rumah. Ada bau tanah basah di udara, bercampur aroma kue kering yang sudah terlalu lama disimpan—seperti janji politik lokal, basi tapi tetap disajikan. Kopi di sini bukan sekadar minuman; ia adalah alasan kita duduk, bicara, dan menunda pertanyaan yang tak ingin dijawab: “Setelah Idulfitri, apa lagi yang tersisa?”
Saya teringat Albert Camus dalam The Myth of Sisyphus. Ia bilang, hidup adalah absurditas yang kita ulang tanpa henti, seperti Sisyphus yang mendorong batu ke puncak hanya untuk melihatnya jatuh lagi. Di Bulukumba, silaturahmi adalah batu kita. Kita datang ke rumah tetangga, minum kopi yang kadang terlalu manis atau terlalu hambar, lalu pulang dengan perut kembung dan pikiran penuh tanya: “Ini maaf-memaafkan atau cuma teater kecil untuk tetangga yang sok tahu?” Kopi jadi saksi, diam saja, seperti politik di sini—tak peduli siapa bupatinya, asal bijinya tetap dibeli murah dari petani di Bulukumba.
Secara saintifik, kopi punya cerita sendiri. Dalam The Science of Everyday Life karya Marty Jopson, kafein disebut sebagai stimulan yang membangunkan neuron-neuron kita, membawa ilusi bahwa kita punya kendali atas hari ini. Tapi di Bulukumba, Idulfitri tak butuh ilmu untuk berjalan—ia digerakkan oleh inertia sosial, oleh kebiasaan yang lebih tua dari pohon kelapa di pantai Bira. Kita duduk melingkar, cangkir di tangan, mendengar cerita yang sama: jalan poros Tanete-Kajang yang rusak, dana desa yang entah ke mana, dan calon bupati pada Pilkada lima tahun yang akan datang, yang katanya “berbeda” tapi rasanya, jangan-jangan sama —murah, biasa, dan sedikit getir.
Politik lokal adalah komedi yang tak lucu. Di depan masjid, seorang bapak tua menyeruput kopi sambil mengeluh soal proyek irigasi yang mangkrak.
“Mungkin tahun depan,” katanya, lalu tertawa kecil, seolah hidup adalah lelucon yang punchline-nya sudah kita hafal.
Franz Kafka, dalam The Trial, menggambarkan manusia sebagai tahanan birokrasi yang tak pernah tahu kapan vonisnya tiba. Di Bulukumba, kita tahanan kopi dan silaturahmi—tak bisa kabur, tak mau pergi. Bupati boleh berganti, janji boleh berganti, jalanan tetap boleh berlubang, dan kopi tetap diseduh.
“Tapi toh pembangunan fisik itu benar-benar nyata, kan?” kata seorang kawan, pemuja rezim.
“Ya, nyata, tapi kenyataan yang paling nyata adalah saya tak punya banyak uang dalam sebulan, meski harus jujur bahwa gedung di sana itu sungguh megah,” kata seorang kawan lainnya, nyengir, kebetulan dia opsisi.
Saya membaca One Hundred Years of Solitude karya Gabriel García Márquez belum lama ini. Di Macondo, waktu berputar dalam lingkaran, dan manusia tak belajar apa-apa dari sejarahnya. Bulukumba pun serupa. Idulfitri datang, kita saling memaafkan, tapi tak ada yang benar-benar lupa. Di meja silaturahmi, ada yang sudah berbisik soal pilkada mendatang, padahal pilkada sebelumnya baru saja usai, masih hangat: “Dia baik, tapi duitnya dari mana?” Kopi di tangan tak menjawab—ia hanya menguap, meninggalkan noda cokelat di sela gigi, seperti jejak politik yang tak pernah bersih.
Goethe, dalam Faust, bilang bahwa manusia mencari makna di hal-hal kecil. Kopi adalah Faust kita: kita tanyakan padanya soal hidup, tapi ia diam, lalu habis, menyisakan cangkir kosong.
Tapi ada humor di sini, meski kecut. Di sebuah warung kopi dekat pasar, seorang pemuda bercanda, “Idulfitri itu seperti kampanye: banyak kue, banyak janji, tapi habis Lebaran semua lupa.” Orang-orang tertawa, tapi matanya tak ikut tertawa. Di Bulukumba, politik dan silaturahmi bercampur seperti gula dan kopi—manis di awal, getir di akhir. Seperti dalam Il Conformista karya Bertolucci, kita duduk di kafe kehidupan, menatap cangkir, pura-pura tak tahu bahwa dunia di sekitar kita adalah teater absurd yang naskahnya ditulis oleh tangan-tangan tak terlihat.
Kopi habis, cangkir diletakkan. Idulfitri berlalu, seperti kabut yang perlahan hilang dari pantai Bira. Politik di Bulukumba tetap seperti ampas: mengendap, tak lenyap, menunggu giliran untuk diaduk lagi. Dan kita? Kita bangun esok pagi, menyeduh kopi baru, seolah pahit itu kawan lama yang tak pernah usai kita peluk.***