Kedaikopilitera.com – Di sepertiga akhir Ramadan, sahur bukan lagi sekadar ritual, melainkan jeda sunyi yang sarat makna. Di tengah kantuk yang berat dan langit yang masih pekat, secangkir kopi di meja sahur menjadi teman yang tidak hanya membangunkan tubuh, tetapi juga membangkitkan kesadaran—tentang waktu yang semakin menyempit, tentang bulan suci yang sebentar lagi pamit.
Kopi dalam gelas itu bukan sekadar minuman. Ia adalah simbol perenungan. Seperti kata Ernest Hemingway, “Kopi adalah kebiasaan perlahan yang memberi ruang untuk berpikir.” Dan di penghujung Ramadan ini, pikiran kita seharusnya lebih dalam dari sekadar rutinitas sahur dan berbuka. Ia harus menelusuri makna: sudah sejauh mana kita berjalan dalam perjalanan spiritual ini?
Sahur dalam Islam bukan hanya soal menjaga daya tahan tubuh agar kuat menjalani puasa. Lebih dari itu, ia adalah latihan kedisiplinan dan pengingat bahwa hidup bukan tentang kenyamanan semata. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Makan sahurlah kalian, karena dalam sahur ada keberkahan.” (HR. Bukhari dan Muslim). Namun, keberkahan ini tidak hanya terletak pada rezeki yang masuk ke perut, melainkan juga pada kesadaran yang masuk ke dalam hati.
Seperti halnya kopi yang memberi kehangatan, sahur seharusnya menghangatkan jiwa. Di saat dunia masih terlelap, ada sekelompok manusia yang bangun, menyiapkan makanan, mengangkat tangan dalam doa, dan menyadari bahwa Ramadan hampir berlalu. Ada nuansa sepi yang syahdu, ada rindu yang mulai tumbuh bahkan sebelum perpisahan benar-benar terjadi.
Kopi dan waktu yang tak bisa diulang
Seperti secangkir kopi yang kehilangan hangatnya jika dibiarkan terlalu lama, waktu di bulan Ramadan juga berlalu tanpa bisa diulang. Haruki Murakami dalam novelnya Kafka on the Shore menulis, “Time flows in strange ways on Sundays, and life moves along with it.” Di hari-hari terakhir Ramadan, waktu mengalir dengan cara yang aneh—perlahan, tapi pasti menuju akhir.
Setiap seruput kopi di sahur adalah pengingat bahwa kita tidak bisa menghentikan detik yang bergerak. Barangkali di tahun depan, kita tidak lagi diberi kesempatan merasakan nikmatnya sahur. Barangkali orang-orang yang menemani kita saat ini tidak akan ada di meja yang sama di tahun berikutnya.
Maka, kopi dalam gelas itu mengajarkan kita satu hal: nikmati setiap teguknya, karena tak ada jaminan akan ada tegukan yang sama di lain hari. Begitu pula dengan Ramadan. Jangan biarkan ia berlalu tanpa makna, tanpa kita benar-benar menyerap esensinya.
Sepertiga malam dan renungan di ujung ramadan
Dalam Islam, sepertiga malam terakhir adalah waktu yang paling istimewa. Allah turun ke langit dunia, membuka pintu ampunan, dan mengabulkan doa hamba-Nya yang bersungguh-sungguh. Ibarat kopi yang diseduh perlahan agar menghasilkan rasa terbaik, doa-doa yang dipanjatkan di penghujung Ramadan juga harus disiapkan dengan kesungguhan hati.
Seperti kata Jalaluddin Rumi, “Ketika jiwa lelah, ia akan mencari Tuhan dalam sunyi.” Dan sahur, di hari-hari terakhir Ramadan, adalah saat paling sunyi di mana kita bisa bercakap dengan-Nya tanpa gangguan dunia.
Mungkin, inilah saatnya kita menanyakan pada diri sendiri:
Apakah puasa kita tahun ini benar-benar telah membersihkan jiwa?
Apakah kita sudah memanfaatkan Ramadan ini sebaik-baiknya?
Ataukah kita hanya melewatinya seperti kopi instan—cepat, mudah, tapi tanpa rasa yang benar-benar membekas?
Menyesap kesadaran, bukan sekadar kopi
Di hari-hari terakhir sahur, secangkir kopi bukan hanya tentang mengusir kantuk, tetapi juga tentang menyadarkan bahwa waktu terus berjalan. Ramadan akan pergi, dan kita tidak tahu apakah kita masih akan diberi kesempatan untuk menyapanya lagi di tahun depan.
Maka, seperti menikmati kopi yang baik—yang diseruput perlahan, yang diresapi setiap rasanya—mari kita nikmati detik-detik terakhir Ramadan ini dengan lebih sadar. Kita serap keberkahannya, kita hayati maknanya, dan kita persiapkan diri untuk menjadikannya bagian dari diri kita, bahkan setelah ia berlalu.
Sebab, pada akhirnya, Ramadan yang sejati bukan hanya yang kita jalani selama satu bulan penuh, tetapi yang kita bawa dalam hati sepanjang tahun.***