Kedaikopilitera.com – Dalam sejarah panjang peradaban manusia, kopi dan susu adalah dua unsur yang memiliki jalurnya masing-masing sebelum akhirnya dipertemukan dalam satu cangkir. Kopi, yang berasal dari dataran tinggi Ethiopia, mulai menyebar ke dunia melalui perdagangan Arab, sementara susu telah dikonsumsi sejak manusia pertama kali memelihara hewan ternak. Namun, kapan keduanya mulai bercampur? Apakah ini sekadar inovasi selera, atau ada faktor sosial dan budaya yang mendorong perpaduan ini?
Kopi pertama kali dikenal dalam catatan sejarah sekitar abad ke-9, ketika bangsa Ethiopia menemukan bahwa biji kopi memiliki efek stimulan. Sejarawan makanan Mark Pendergrast dalam Uncommon Grounds: The History of Coffee and How It Transformed Our World (1999) menjelaskan bahwa kopi mulai dikonsumsi dalam bentuk rebusan sederhana oleh suku Oromo. Seiring penyebarannya ke Semenanjung Arab, kopi menjadi bagian dari ritual keagamaan Sufi yang menggunakannya untuk tetap terjaga dalam meditasi malam.
Pada masa itu, kopi dikonsumsi tanpa tambahan apa pun. Bahkan, di dunia Islam yang memperkenalkannya ke Eropa, menambahkan sesuatu ke dalam kopi dianggap merusak kemurnian minuman ini. Namun, semuanya berubah ketika kopi memasuki dunia Barat.
Peran Eropa: Kopi dan susu mulai bersentuhan
Perpaduan kopi dengan susu pertama kali terdokumentasikan dalam tulisan sejarawan Prancis, Philippe Sylvestre Dufour, dalam bukunya Traitez Nouveau et Curieux du Café, du Thé et du Chocolat (1685). Ia mencatat bahwa di Eropa, terutama Prancis, para bangsawan mulai menambahkan susu ke dalam kopi untuk mengurangi keasaman dan kepahitannya.
Namun, tokoh yang paling berperan dalam normalisasi kopi susu adalah Johan Nieuhof, seorang diplomat Belanda yang pada abad ke-17 mengamati kebiasaan minum teh dengan susu di Tiongkok. Dalam catatannya, ia menyebut bahwa metode ini bisa diterapkan pada kopi. Dari sinilah, perpaduan kopi dan susu mulai mendapat tempat, terutama di kalangan aristokrasi Eropa.
Di Wina, setelah pengepungan Ottoman pada 1683, Jerzy Franciszek Kulczycki membuka salah satu kafe pertama di kota itu. Ia diyakini sebagai salah satu orang pertama yang memperkenalkan kopi yang lebih ringan dengan susu dan gula agar lebih sesuai dengan selera orang Eropa.
Revolusi industri dan popularisasi kopi susu
Memasuki abad ke-19, konsumsi kopi susu meningkat secara drastis, seiring dengan Revolusi Industri yang melahirkan kelas pekerja baru. Buku The World of Caffeine: The Science and Culture of the World’s Most Popular Drug (2001) oleh Bennett Alan Weinberg dan Bonnie K. Bealer menyoroti bahwa pada periode ini, kopi menjadi kebutuhan harian para pekerja, dan susu ditambahkan untuk menyeimbangkan efek kafein yang kuat.
Di Prancis, lahirlah istilah café au lait, di Italia caffè latte, dan di Spanyol café con leche, yang semuanya merujuk pada kopi dengan susu dalam berbagai proporsi. Perbedaan ini mencerminkan selera dan budaya masing-masing bangsa terhadap kopi susu.
Sementara Eropa mengembangkan kopi susu dengan metode yang lebih halus, di Asia Tenggara kopi susu lahir dalam bentuk yang lebih praktis. Selama masa kolonial, orang Indonesia dan Malaysia mulai mengadaptasi kopi dengan tambahan susu kental manis—praktik ini didorong oleh kebutuhan akan pemanis yang tahan lama dan mudah diakses.
Buku Coffee Culture: Local Experiences, Global Connections (2010) oleh Catherine M. Tucker menjelaskan bagaimana di negara-negara tropis seperti Vietnam, Thailand, dan Indonesia, kopi susu berkembang bukan dari pengaruh bangsawan, melainkan dari kebutuhan rakyat biasa. Di Vietnam, misalnya, kopi ca phe sua da lahir dari adaptasi terhadap terbatasnya susu segar.
Hilangnya kemurnian atau evolusi rasa?
Beberapa kritikus kopi menganggap bahwa penambahan susu ke dalam kopi adalah bentuk “pencemaran” terhadap esensi kopi yang sebenarnya. Ahli kopi James Hoffmann dalam bukunya The World Atlas of Coffee (2014) berpendapat bahwa susu, terutama dalam jumlah besar, menutupi kompleksitas rasa alami kopi yang seharusnya dihargai dalam bentuknya yang lebih murni.
Namun, di sisi lain, pendekatan ini juga bisa dilihat sebagai evolusi rasa yang memperluas aksesibilitas kopi bagi lebih banyak orang. Tanpa perpaduan kopi dan susu, kopi mungkin tidak akan sepopuler sekarang. Kopi susu adalah bukti bahwa sebuah tradisi bisa terus berubah dan menyesuaikan diri dengan kebutuhan zaman.
Sejak pertama kali ditemukan, kopi telah melewati berbagai transformasi, dan pertemuannya dengan susu adalah salah satu perubahan terbesar dalam sejarah minuman ini. Dari eksperimen para bangsawan Eropa hingga adopsi praktis oleh masyarakat Asia Tenggara, kopi susu adalah bukti bahwa makanan dan minuman selalu dipengaruhi oleh budaya, teknologi, dan kebutuhan sosial.
Meskipun bagi sebagian orang kopi seharusnya dinikmati dalam bentuk hitam tanpa tambahan apa pun, sejarah menunjukkan bahwa inovasi seperti kopi susu justru membuat kopi semakin relevan di berbagai belahan dunia. Jadi, apakah kopi susu adalah bentuk pelecehan terhadap kemurnian kopi atau justru inovasi yang memperkaya pengalaman minum kopi? Sejarah membuktikan bahwa kopi selalu berevolusi—dan kopi susu adalah salah satu wujud dari evolusi tersebut.***