Kedaikopilitera.com – Pak Camat, mari kita ngopi. Bukan sekadar meneguk cairan hitam pekat dalam cangkir, tetapi menyeduhnya bersama, memahami rasanya, dan mengambil filosofi dari setiap tegukannya. Karena kopi, seperti halnya kepemimpinan, tidak hanya soal rasa yang ada di lidah, tapi juga tentang bagaimana ia diracik, bagaimana ia dinikmati, dan bagaimana ia memberikan efek bagi yang meminumnya.

Tapi sebelum duduk, izinkan saya bertanya: Apakah Anda seorang pemimpin yang mendengar atau hanya sekadar memerintah? Apakah Anda memahami rakyat atau justru menjauh dari mereka? Apakah Anda tahu bagaimana menyeduh kepemimpinan yang baik, atau Anda hanya menyajikan kuasa yang pahit dan getir?

Kopi dan Kuasa: Filosofi yang Terlupakan

Kopi bukan hanya minuman, tetapi refleksi dari kehidupan dan kepemimpinan. Tony Wild, dalam bukunya Coffee: A Dark History, menulis bahwa kopi pernah menjadi simbol perlawanan di era kolonial. Ia bukan sekadar minuman pengusir kantuk, tetapi juga bahan bakar bagi para pemikir dan pejuang yang menolak ketidakadilan.

Lalu, bagaimana dengan kepemimpinan Anda, Pak Camat? Apakah rakyat Anda hanya menjadi penikmat sisa-sisa kebijakan yang Anda buat di balik meja kekuasaan?

Sementara itu, Avi Jorisch, dalam The Unexpected Spy, menyebutkan bahwa kopi selalu menghubungkan orang-orang dari berbagai kelas sosial. Di meja kopi, tidak ada batasan antara penguasa dan rakyat, antara pejabat dan petani. Namun, faktanya, ada pemimpin yang justru menjadikan jabatannya sebagai tembok pemisah. Mereka lupa bahwa camat bukanlah tuan tanah, melainkan pelayan masyarakat.

Menyeduh Kepemimpinan: Antara Kesabaran dan Ketepatan Rasa

Dalam seni menyeduh kopi, ada satu prinsip yang tak boleh diabaikan: keseimbangan. Terlalu banyak bubuk, maka ia akan pahit dan getir. Terlalu sedikit, maka rasanya hambar dan tak berkarakter. Begitu juga dengan kepemimpinan. Seorang camat yang baik harus tahu kapan harus tegas, kapan harus mendengar, kapan harus melayani, dan kapan harus mengayomi.

Tapi apa yang terjadi jika seorang camat hanya ingin menjadi yang paling berkuasa? Ia menutup telinga dari kritik, memutus komunikasi dengan rakyat, dan menjalankan pemerintahan dengan otoritas yang menekan. Maka ia bukanlah pemimpin, melainkan sekadar seorang penyeduh kopi yang lupa mencicipi hasil racikannya sendiri.

Ngopi dan Merasakan Rakyat

Pak Camat, mari kita ngopi. Tapi jangan hanya duduk di meja besar dengan cangkir eksklusif yang hanya bisa dinikmati oleh pejabat setingkat Anda. Mari kita turun ke warung kopi pinggir jalan, duduk bersama rakyat, mendengar suara mereka tanpa merasa paling tahu segalanya. Sebab kopi yang paling nikmat bukan yang diminum sendirian dalam ruang dingin kekuasaan, tetapi yang diteguk bersama, sambil mendengar keluh kesah mereka yang Anda pimpin.

Jabatan, seperti kopi, ada masanya. Ada saatnya ia panas dan penuh gairah, ada saatnya ia mendingin dan kehilangan rasanya. Tapi yang pasti, kepemimpinan yang baik adalah yang mampu menyeduh kepercayaan rakyat dengan kepekaan dan kebijaksanaan, bukan dengan arogansi dan kesewenang-wenangan.

Jadi, Pak Camat, apakah Anda siap menyeduh kepemimpinan yang baik, atau Anda akan terus menyajikan kuasa yang terlalu pahit untuk rakyat Anda?***

By Suriyandi Asbir

Suriyandi Asbir, S.IP adalah penulis muda di Bulukumba, Sulawesi Selatan. Ia telah menerbitkan beberapa buku, termasuk "Rindu Sudah Usai", "Selamat Mengingat", "Kau Hanya Sebuah Fase", dan "Hujan dan Senja yang Tak Lagi Sama". Alumnus FISIP UNHAS Mahassar ini juga aktif di dunia literasi dan organisasi kepemudaan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *