Kedaikopilitera.com – Kopi tidak pernah berbohong. Ia menyajikan rasa sesuai dengan cara ia diseduh. Jika takarannya pas, ia menjadi nikmat; jika terlalu banyak ampas, ia getir dan sulit ditelan. Begitu pula dengan kepemimpinan seorang camat—jika ia adil dan terbuka, rakyatnya akan sejahtera. Tapi jika ia arogan dan otoriter, kecamatan hanya menjadi panggung kekuasaan, bukan tempat pelayanan bagi masyarakat.

Dalam teori birokrasi Max Weber, pemimpin dalam struktur pemerintahan, termasuk camat, seharusnya bekerja secara rasional, efisien, dan melayani kepentingan rakyat. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah pun menegaskan bahwa camat bukan raja kecil yang bisa berbuat sesuka hati, melainkan administrator yang bertanggung jawab atas koordinasi pemerintahan, pelayanan publik, dan pemberdayaan masyarakat. Seorang camat adalah pelayan, bukan penguasa. Tapi bagaimana jika yang terjadi justru sebaliknya?

Ada camat yang lebih suka memerintah daripada mendengar. Ia menutup ruang diskusi, menolak kritik, dan menjalankan kebijakan seolah dirinya tak tersentuh aturan. Musyawarah hanya sekadar formalitas, rakyat hanya dianggap sebagai angka di laporan kerja. Ini bukan kepemimpinan, ini feodalisme dalam wajah baru.

Bayangkan seorang camat yang datang ke warung kopi di sudut kecamatan. Namun, bukan untuk mendengar keluh kesah rakyatnya, melainkan untuk memamerkan kekuasaannya. Ia bukan pelanggan yang ingin memahami rasa kopi, tetapi pemilik kafe yang memaksa semua orang minum dari cangkir yang sama, tanpa boleh bertanya apakah kopi itu terlalu pahit atau basi.

Padahal, kepemimpinan yang baik seharusnya seperti kopi yang dinikmati bersama: ada keseimbangan rasa, ada ruang untuk dialog, ada kesempatan untuk memahami lidah dan selera masing-masing. Seorang camat yang bijak akan tahu bahwa kekuasaan bukan soal mengontrol, tapi soal melayani dan mendengar. Jika kopi saja bisa menyatukan banyak orang, mengapa seorang camat justru memilih untuk menjauh?

Kekuasaan yang otoriter ibarat kopi yang diseduh dengan ampas berlebih—bukan hanya pahit, tetapi juga kotor. Dan camat yang arogan adalah pemimpin yang lupa bahwa jabatannya bukan warisan, melainkan amanah yang bisa dicabut kapan saja.

Maka, kepada camat yang lebih suka memerintah daripada mendengar, tanyakan pada diri sendiri: Apakah Anda pemimpin yang menyajikan kopi yang nikmat, atau hanya sekadar menyuguhkan ampas pahit yang tidak layak diminum?***

By Suriyandi Asbir

Suriyandi Asbir, S.IP adalah penulis muda di Bulukumba, Sulawesi Selatan. Ia telah menerbitkan beberapa buku, termasuk "Rindu Sudah Usai", "Selamat Mengingat", "Kau Hanya Sebuah Fase", dan "Hujan dan Senja yang Tak Lagi Sama". Alumnus FISIP UNHAS Mahassar ini juga aktif di dunia literasi dan organisasi kepemudaan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *