Kedaikopilitera.com – Di sudut kedai kopi, kepulan asap dari cangkir hitam menari pelan, seolah mengejek mereka yang masih percaya bahwa sepak bola adalah sekadar permainan. Kekalahan Timnas Indonesia atas Australia bukan sekadar soal strategi yang lemah atau fisik yang kalah. Ini adalah gambaran nyata bagaimana politik menjalar ke dalam sepak bola, menggerogoti esensinya, dan menjadikannya alat bagi kepentingan tertentu.
Mungkin ini terdengar seperti teori konspirasi, tetapi dalam politik, seperti kata Niccolò Machiavelli, “Lebih baik dicurigai daripada tertipu.” Maka, mari kita curiga: siapa yang benar-benar diuntungkan dari kekalahan ini?
Sepak bola, bagi masyarakat, adalah kegembiraan, identitas, bahkan pelarian dari kenyataan pahit. Tapi bagi mereka yang berada di balik layar, sepak bola adalah alat kontrol. Jean Baudrillard mengatakan bahwa dunia modern dipenuhi oleh “simulacra”, realitas buatan yang disajikan seolah-olah asli. Kekalahan Indonesia bukan sekadar hasil pertandingan; ini bisa jadi bagian dari skenario yang lebih besar.
Sejarah sudah mencatat bagaimana sepak bola dijadikan alat propaganda. Mussolini menggunakan Piala Dunia 1934 untuk memperkuat citra fasisme. Argentina memenangkan Piala Dunia 1978 di tengah kediktatoran militer untuk menutupi kekejaman rezim. Apakah kita benar-benar percaya bahwa di era modern, sepak bola sudah bebas dari permainan tangan-tangan kotor?
Pengamat sepak bola, Akmal Marhali, menilai bahwa strategi Indonesia terlalu mudah ditebak. Tapi, mari kita tanya lebih dalam: apakah ini murni kesalahan teknis, atau ada arahan tertentu agar Indonesia “harus” kalah? Taruhan ilegal bernilai miliaran rupiah, kepentingan politik di dalam federasi, hingga agenda bisnis hak siar—semuanya bisa menjadi faktor yang menentukan arah pertandingan.
Antonio Gramsci menegaskan bahwa hegemoni tidak hanya terjadi dalam politik, tetapi juga dalam budaya dan olahraga. Maka, jangan kaget jika sepak bola kita terus-terusan mengalami stagnasi, karena mungkin memang ada yang tidak ingin kita berkembang. Kekalahan Timnas bisa jadi adalah desain, bukan sekadar nasib.
Siapa yang diuntungkan? Kopi di cangkir semakin dingin, tapi diskusi di meja kopi terus memanas. “Ini bukan soal bola lagi,” kata seorang pria tua di sudut kedai. “Ini soal siapa yang bermain di belakang layar.”
Jika Timnas menang, siapa yang diuntungkan? Jika kalah, siapa yang mengambil untung lebih besar? Apakah ini cara untuk mempertahankan orang-orang tertentu di dalam federasi? Atau ini tentang sesuatu yang lebih besar—mengalihkan perhatian dari skandal politik yang lebih penting?
Sepak bola seharusnya menjadi simbol perjuangan rakyat, tetapi selama dikuasai oleh mereka yang rakus, ini tidak lebih dari ilusi. Kita diminta mendukung Timnas, tapi mereka yang mengendalikan sistem justru merampas harapan kita secara perlahan.
Sepak bola dan politik adalah dua sisi mata uang yang sama—dan secangkir kopi ini, seperti kenyataan, semakin pahit untuk ditelan.***