Kedaikopilitera.com – Bayangkan sejenak dunia tanpa kopi. Sebagian besar umat manusia akan terbangun dengan wajah kosong, mencoba memahami keberadaan mereka di planet ini tanpa bantuan cairan hitam berkafein. Para mahasiswa akan menyerah pada skripsi mereka, para pekerja kantoran akan tertidur di meja sebelum pukul 10 pagi, dan ekonomi global mungkin akan kolaps sebelum siang hari.

Seorang teman pernah berkata, “Aku tidak kecanduan kopi, aku hanya tidak bisa berpikir, berfungsi, atau berinteraksi dengan manusia tanpanya.”

Dan dia tidak sendirian. Setiap hari, lebih dari 2,25 miliar cangkir kopi dikonsumsi di seluruh dunia (International Coffee Organization, 2022). Kopi adalah minuman universal yang melampaui batas budaya, agama, dan ideologi. Orang yang saling berdebat soal politik bisa duduk berdampingan di kafe, selama mereka sepakat bahwa kopi adalah penyelamat hidup.

Tapi tunggu dulu, mari kita mundur jauh ke belakang. Sebelum kopi menjadi alasan manusia modern bisa tetap bekerja meski seharusnya sudah tidur, kopi pernah dianggap sebagai ramuan suci, minuman haram, dan bahkan pemicu revolusi.

Sejarah kopi bukan hanya tentang biji yang disangrai dan diseduh, melainkan juga tentang perjalanan manusia dari spiritualitas ke kapitalisme, dari zikir di tengah malam hingga rapat Zoom yang tak berkesudahan.

Tapi satu pertanyaan tetap abadi, sejak zaman Ottoman hingga kedai kopi pinggir jalan di hari ini:

“Siapa yang bayar kopi ini?”

Setelah dilegalkan oleh Sultan Ottoman, kopi meledak popularitasnya di seluruh dunia Islam. Sejarawan Ralph Hattox (1985) dalam Coffee and Coffeehouses: The Origins of a Social Beverage in the Medieval Near East mencatat bahwa kedai kopi menjadi pusat intelektual di dunia Muslim.

Di Istanbul, Kairo, hingga Baghdad, kedai kopi bukan sekadar tempat minum, tapi tempat pertemuan ulama, filsuf, dan penyair. Di sana, mereka membahas teologi, filsafat Yunani, dan ilmu pengetahuan modern—sering kali dengan gaya yang panas dan penuh semangat, mirip grup WhatsApp keluarga yang debat politik menjelang pemilu.

Sebuah percakapan di kedai kopi Damaskus abad ke-16 mungkin terdengar seperti ini:

Ulama A: “Menurut Al-Farabi, akal aktif adalah sumber kecerdasan manusia.”

Filsuf B: “Tapi Ibn Sina mengatakan bahwa jiwa tetap eksis setelah kematian!”

Penyair C: “Benar, tetapi apakah yang kita sebut realitas ini bukan sekadar pantulan dari akal ilahi?”

Pelayan kedai kopi (menyela): “Maaf, tapi… siapa yang bayar kopi hari ini?”

Sejenak, suasana hening. Para filsuf yang sebelumnya begitu bersemangat membahas metafisika mendadak sibuk melihat ke arah lain. Seorang ulama yang tadinya berargumentasi tentang kesempurnaan logika Aristoteles mendadak berpura-pura sibuk mencari sesuatu di dalam jubahnya. Sementara itu, seorang penyair tiba-tiba terinspirasi menulis puisi spontan tentang betapa fana dan sementara kehidupan ini—sebuah cara klasik untuk menghindari tagihan.

Menurut Ellis (2011) dalam The Coffee House: A Cultural History, fenomena ini tidak hanya terjadi di dunia Islam klasik, tetapi juga di kedai kopi Eropa abad ke-17 dan bahkan di warung kopi modern.

Seorang saksi mata di Istanbul tahun 1650 mencatat bahwa ada seorang filsuf yang berdebat selama tiga jam tentang konsep keadilan dalam hukum Islam, tetapi ketika tagihan datang, ia pura-pura batuk dan berkata bahwa ia harus segera pulang karena ada keperluan keluarga yang mendesak.

Bahkan, ada satu catatan sejarah dari kedai kopi di Istanbul pada abad ke-17, di mana seorang ulama terkenal diketahui pergi ke kamar mandi saat tagihan datang, lalu tidak pernah kembali.

Fenomena “Siapa yang Bayar Kopi?” di Era Modern

Jangan salah, kebiasaan ini masih lestari hingga hari ini.

Coba perhatikan: Di kedai kopi mana pun di dunia modern, selalu ada satu orang dalam rombongan yang tiba-tiba sibuk dengan ponselnya saat nota datang.

  • Orang A: “Maaf, maaf, tadi ada chat masuk dari bos!”
  • Orang B: “Aduh, aku baru ingat, dompetku ketinggalan di mobil!”
  • Orang C (satu-satunya yang benar-benar jujur): “Gini aja deh, kalian duluan aja yang bayar, nanti aku transfer… kalau inget.”

Dan tentu saja, tidak ada yang pernah ingat.

Di era digital, fenomena ini juga semakin berkembang. Beberapa varian modern dari teknik “kabur saat bayar kopi” meliputi:

  • “Aku duluan deh, nanti kita patungan!” (dan patungannya tak pernah terjadi).
  • “Transfer aja ya, nanti aku balikin!” (transferannya menghilang ke dimensi lain).
  • “Next time aku yang traktir, ya!” (next time tidak pernah datang).

Menurut penelitian psikologi sosial oleh Martin & Clark (1990) dalam The Social Psychology of Economic Behavior, manusia cenderung menghindari pembayaran dalam situasi sosial yang ambigu. Dengan kata lain, semakin besar kemungkinan orang lain akan membayar, semakin besar juga kemungkinan seseorang berpura-pura lupa.

Jika para ulama abad ke-16 sudah menemukan teknik ini, maka manusia modern telah menyempurnakannya ke tingkat seni.

Kopi dan Kapitalisme: Dari Sufi ke Korporat

Dulu, kopi adalah alat spiritual para sufi. Sekarang? Kopi adalah alat kapitalisme untuk memperpanjang jam kerja manusia modern.

Sejak Revolusi Industri, kopi diubah dari ritual ibadah menjadi alat eksploitasi pekerja. Dikutip dari Rogers (2007) dalam Psychopharmacology of Caffeine, kopi memungkinkan manusia untuk melampaui batas biologis mereka—bukan demi pencerahan spiritual, tetapi demi produktivitas kerja yang tak berkesudahan.

Di zaman Ottoman, kopi digunakan untuk diskusi filsafat dan ilmu pengetahuan.
Di zaman modern, kopi digunakan untuk bertahan dalam rapat tanpa akhir dan menjawab email pukul 11 malam.

Namun, satu hal yang tetap sama dari dulu hingga sekarang:
Ketika tagihan kopi datang, semua orang tiba-tiba menjadi filsuf eksistensial.

Dikutip dari Ralph Hattox (1985): “Kopi bukan hanya minuman. Ia adalah simbol dari perubahan sosial, intelektual, dan spiritual di dunia Islam dan Barat.”

Dari sufi yang berzikir, ulama yang berdebat di Makkah, filsuf yang diskusi di kedai kopi Istanbul, hingga pekerja kantoran yang mencoba bertahan hidup di era kapitalisme—kopi adalah minuman yang menyatukan manusia dari segala zaman.

Namun, ada satu pertanyaan yang tetap belum terjawab sejak abad ke-15 hingga hari ini: “Siapa yang bayar kopi ini?” Dan mungkin, kita tidak akan pernah tahu jawabannya.***

By Alfian Nawawi

Alfian Nawawi, S.Ikom adalah owner Kedai Kopi Litera. Pendiri komunitas literasi Dihyah PROject dan Pustaka RumPut. Pegiat literasi, penulis buku, esais, cerpenis, penyair, pelukis sketsa, dan jurnalis di Bulukumba, Sulawesi Selatan. Beberapa buku-bukunya yang telah terbit di antaranya "Inspiring Bulukumba" (Mafazamedia, 2014), "Republik Temu-Lawak" (J-Maestro, 2020), antologi seperti "Rumah Putih: Antologi Puisi Serumah" (Ombak, 2013), dan "Wasiat Botinglangi" (Balai Pelestarian Nilai Budaya Provinsi Sulawesi Selatan, 2022).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *