Ilustrasi ngopi deja vu krisis 1998 (Generated by ChatGPT)

Kedaikopilitera.com – Seperti pagi yang selalu diawali dengan secangkir kopi, Indonesia tampaknya sedang menyiapkan seduhan yang mirip dengan krisis 1998. Bedanya, kali ini bukan sekadar kopi tubruk yang diseduh, tapi espresso krisis yang pahitnya bisa bikin jantung berdebar lebih kencang dari overdosis kafein.

Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) baru-baru ini mengirim sinyal keras: “Reformasi Jilid II di depan mata!”, silakan baca di sini. Pernyataan ini ibarat barista yang tiba-tiba berkata, “Bro, biji kopi lo basi!”—sebuah peringatan keras bahwa ada yang tidak beres.

Mari kita ngopi sambil membahas: Benarkah kita sedang menuju ulangan episode krisis 1998? Yang jelas, kopi sebagai termometer ekonomi bisa melemparkan ingatan sejarah ke
zaman tanam paksa Belanda, di saat kopi sudah jadi komoditas penting di Indonesia. Lalu pada 2024, kopi masih tetap relevan, meskipun sekarang lebih sering muncul dalam bentuk latte art di Instagram. Tapi jangan salah, harga kopi bisa memberi kita gambaran soal ekonomi nasional.

Harga kopi di kafe terus naik. Kalau dulu Rp25.000 bisa dapat caramel macchiato, sekarang paling cuma dapat tatapan sinis dari barista. Para petani kopi di Gayo dan Toraja mulai mengeluh soal harga pupuk yang makin menggila. Ongkos produksi naik, sementara daya beli turun. Ini kayak analogi orang yang pengen ngopi tiap hari, tapi gaji masih stuck di level 2019.

Mirip krisis 1998? Bisa jadi. Dulu, harga-harga naik gila-gilaan karena rupiah jeblok. Sekarang, nilai tukar rupiah juga mulai loyo. Sinyal krisis makin kuat ketika ekonomi mulai terasa seperti kopi yang over-extracted—terlalu pahit, kurang nikmat.

Kita semua tahu 1998 adalah tahun yang luar biasa kacau. Saat itu: Rupiah jatuh dari Rp2.400 ke Rp15.000 per dolar AS (ini bukan ‘devaluasi’, ini free fall). Harga bahan pokok naik drastis. Bayangkan tiba-tiba harga kopi sachet naik 10 kali lipat, mungkin orang-orang sudah turun ke jalan lebih cepat.
Demo mahasiswa di mana-mana. Kampus-kampus berubah jadi coffee shop besar tempat diskusi politik tak ada habisnya. Soeharto akhirnya lengser setelah 32 tahun berkuasa.

Film-film seperti Gie (2005) dan Di Balik 98 (2025) menggambarkan bagaimana ketidakpuasan ekonomi bisa cepat berubah menjadi gerakan politik yang dahsyat.

Sekarang, dengan kondisi ekonomi yang mulai mirip, beberapa orang bertanya: Apakah kita akan melihat Reformasi Jilid II?***

By Alfian Nawawi

Owner Kedai Kopi Litera

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *