Kedaikopilitera.com – Pernahkah Anda merasa bahwa satu-satunya yang lebih pahit dari espresso tanpa gula adalah kenyataan ekonomi? Dulu, secangkir kopi seharga Rp10.000 bisa dinikmati dengan senyum, kini harga segelas latte setara dengan harga sebuah komoditi yang sama-sama bikin jantung berdebar. Lebih parah lagi jika komoditi itu adalah “oplosan”.

Akhir Februari 2025, masyarakat Indonesia dikejutkan oleh kabar mencengangkan terkait isu bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertamax diduga dioplos dengan Pertalite. Isu ini mencuat setelah Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkap dugaan korupsi yang melibatkan PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dalam periode 2018–2023. Dalam liputan berbagai media nasional, penyelidikan menemukan indikasi bahwa Pertalite (RON 90) dicampur dengan Pertamax (RON 92) di depo atau tempat penyimpanan BBM, yang menyebabkan kerugian negara hingga Rp193,7 triliun pada tahun 2023.

Sementara dompet kita kian menipis, pemerintah ‘Negeri Oplosan’ tetap tersenyum dan berkata, “Ekonomi kita masih stabil.” Ini seperti saat Anda terlambat bangun sahur, tapi tetap bilang ke keluarga, “Tenang, masih ada waktu,” padahal adzan sudah berkumandang.

Bagi para pecinta kopi, bulan Ramadhan bukan hanya tentang menahan lapar dan dahaga, tetapi juga menahan diri dari secangkir kenikmatan yang biasa menyelamatkan pagi. Bagi mereka yang terbiasa minum kopi sebelum memulai hari, puasa kopi adalah cobaan yang lebih berat dari godaan gorengan di waktu berbuka. Kepala pening, tubuh lemas, dan mood yang seperti villain di The Dark Knight adalah efek samping yang tak terelakkan. Jika Batman butuh Joker sebagai musuh bebuyutannya, maka orang berpuasa butuh kopi untuk menjaga kewarasannya—tapi sayangnya, harus ditahan hingga Maghrib tiba.

Kopi dan inflasi bisa jadi adalah sebuah hubungan romantis yang tidak direstui. Inflasi dan kopi memiliki hubungan yang mirip dengan Ross dan Rachel dalam Friends—kadang dekat, kadang berpisah, tapi pada akhirnya tetap saling memengaruhi. Harga biji kopi yang naik sering kali dipicu oleh faktor-faktor global, seperti cuaca buruk di Brazil, kebijakan ekspor Vietnam, atau karena Elon Musk tiba-tiba memutuskan bahwa kopi bisa menjadi mata uang kripto.

Menurut The Big Short (2015), di mana Michael Burry bisa memprediksi krisis keuangan 2008, seandainya ia fokus pada kopi, mungkin kita akan tahu kapan tepatnya harga latte akan menyaingi harga saham Tesla.

Pemerintah dan Klaim “Baik-Baik Saja”

Di saat harga-harga meroket, pernyataan klasik pemerintah tetap tak tergoyahkan: “Ekonomi kita masih stabil.” Kalimat ini sering kali diiringi dengan gestur tangan yang mirip Dumbledore dalam Harry Potter, seolah-olah bisa menghapus beban hidup rakyat dengan sihir.

Faktanya, dalam Don’t Look Up (2021), ketika asteroid hendak menabrak bumi, pemerintah malah sibuk meyakinkan rakyat bahwa “tidak ada yang perlu dikhawatirkan.” Jika inflasi adalah asteroid, maka pemerintah kita adalah Leonardo DiCaprio yang berusaha memperingatkan semua orang, tapi justru ditertawakan.

Mungkin pemerintah mengira rakyat kita semua seperti karakter dalam The Truman Show (1998), di mana mereka bisa mengendalikan narasi agar kita percaya bahwa harga kopi yang naik bukanlah masalah. Padahal, kita tahu, begitu kantong bolong karena cappuccino, kenyataan pahitnya lebih pahit dari espresso tanpa gula.

Ramadhan, Sahur, dan Krisis Harga Kopi

Saat Ramadhan tiba, kopi menjadi sahabat setia bagi para pejuang sahur. Namun, tahun ini, ketika harga secangkir kopi melonjak, umat harus memilih antara sahur dengan kopi atau menabung untuk THR keponakan. Ironisnya, kenaikan harga ini terjadi bersamaan dengan seruan untuk bersyukur. Interstellar (2014) mengajarkan kita bahwa waktu adalah ilusi, tetapi saat menyesap kopi yang semakin mahal, kita merasakan betul bahwa waktu itu nyata—dan membawa kita semakin dekat dengan krisis finansial.

Selain itu, Ramadhan adalah saat di mana sebagian besar rakyat berharap pada diskon dan bantuan sosial. Namun, seperti di Parasite (2019), ketika keluarga miskin berharap dapat hidup lebih baik, kenyataan ekonomi malah semakin membebani mereka. Jika inflasi terus naik, jangan kaget kalau kopi di bulan Ramadhan nantinya hanya bisa dinikmati oleh kaum elite, sementara rakyat biasa cukup puas dengan air putih dan doa.

Mungkin, dalam situasi ini, kita perlu mengambil inspirasi dari Forrest Gump (1994): “Life is like a box of chocolates, you never know what you’re gonna get.” Dalam konteks ekonomi, hidup adalah secangkir kopi; kita tak pernah tahu apakah keesokan harinya harganya akan naik lagi atau tidak. Yang jelas, selama pemerintah masih sibuk mengatakan “semua baik-baik saja,” dan kita masih mampu membeli kopi meskipun dengan sedikit air mata, kita akan terus bertahan. Dengan atau tanpa kopi, hidup terus berjalan—walaupun dengan inflasi yang bikin jantung berdegup lebih kencang dari kafein.***

By Alfian Nawawi

Owner Kedai Kopi Litera

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *