Kedaikopilitera.com – Sore di sebuah pojok di Jakarta yang masih ibu kota, karena IKN semakin tak jelas. Asap tipis mengepul dari cangkir di meja kedai kopi. Kopi hitam, pahit, tanpa gula. Seorang lelaki di sudut ruangan menyeruputnya perlahan, mengamati berita basi dari pagi tadi, di layar ponsel. Judulnya bombastis: “Demokrasi Indonesia di Persimpangan Jalan.” Si lelaki nyengir karena dia tahu si penulis berita tak pernah paham betapa demokrasi liberal yang pakai pemilu segala itu memang tak pernah benar-benar compatible dengan Pancasila.
Di meja sebelah, seorang mahasiswa sibuk mengetik skripsi tentang demokrasi, padahal lebih sering mengetik “demokrasih” di X yang hingga kini masih disebutnya Twitter. Sementara itu, barista baru saja menyajikan latte art berbentuk wajah Prabowo—entah kebetulan, entah pesanan khusus oligarki.
Si mahasiswa pun menulis dalam salah satu bab di skripsinya tentang kopi gosong yang masih lebih jujur daripada politik Indonesia. Kopi yang terlalu pahit setidaknya memberi pilihan: tambahkan gula atau susu. Politik kita? Manisnya janji kampanye lenyap secepat kilat, meninggalkan ampas kepahitan yang entah bagaimana masih bisa dijual ulang setiap lima tahun sekali.
Kopi, Otoritarianisme, dan Prabowo: Secangkir Espresso atau Segelas Kopi Instan?
Sejak zaman Revolusi Prancis, kopi adalah bahan bakar perubahan. Mark Pendergrast dalam Uncommon Grounds: The History of Coffee and How It Transformed Our World (2010) mencatat bagaimana kafe menjadi ruang subversif yang melahirkan ide-ide revolusioner. Di Indonesia, Adrian Vickers dalam A History of Modern Indonesia (2013) menulis bahwa kedai kopi di masa kolonial adalah tempat rakyat biasa—dari petani hingga buruh pelabuhan—membahas ketidakadilan sistem tanam paksa dan rencana-rencana pemberontakan.
Tapi sekarang? Warung kopi kita tidak lagi membicarakan revolusi, melainkan promo buy one get one dan apakah influencer yang datang hari ini cukup Instagrammable.
Di bawah rezim Prabowo, kita menghadapi pertanyaan besar: apakah ia akan membawa demokrasi ke arah yang lebih matang, atau justru menyajikan otoritarianisme rasa latte dalam cangkir yang lebih elegan?
Prabowo: Otoriter atau Hanya Barista Kekuasaan?
Sejak awal, Prabowo datang dengan narasi solidaritas nasional yang terdengar manis—semanis kopi susu kekinian dengan takaran gula yang bisa membuat dokter endokrin menangis. Tapi seperti dikatakan Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam How Democracies Die (2018), demokrasi sering mati bukan dengan kudeta militer, tetapi secara perlahan oleh pemimpin yang menggerogotinya dari dalam.
Prabowo pernah menjadi simbol oposisi keras. Tapi setelah bertahun-tahun berseteru dengan Jokowi, ia tiba-tiba menerima tawaran masuk kabinet, seperti pelanggan yang selama ini ngotot hanya minum kopi hitam tapi mendadak ketahuan menikmati kopi caramel macchiato di sudut kafe.
Sekarang, setelah resmi menjadi presiden, publik bertanya: apakah ia akan benar-benar menegakkan keadilan dan mengadili Jokowi sebagaimana tuntutan ‘sebagian’ rakyat? Ataukah ia hanya akan melanjutkan tradisi politik Indonesia: “Kalau sudah duduk, lupa berdiri”?
Karena kalau Prabowo ingin mengadili Jokowi, ia harus berhadapan dengan jejaring oligarki yang menopang kekuasaan selama ini. Oligarki di Indonesia bukan lagi sekadar sekelompok elite ekonomi, melainkan sejenis franchise politik yang dikelola turun-temurun. Setiap pemimpin yang naik harus memastikan bahwa jaringan bisnis, tambang, dan perkebunan tetap aman.
Dalam The Oligarchs’ Grip: A Case Study on Indonesia (Winters, 2011), disebutkan bahwa oligarki di Indonesia adalah model unik: mereka tidak perlu selalu berkuasa secara langsung, cukup memastikan bahwa siapa pun yang berkuasa tetap melindungi kepentingan mereka. Dengan kata lain, rezim bisa berganti, tapi aliran keuntungan tetap mengalir ke segelintir orang yang duduk nyaman di kursi empuk sambil menyeruput kopi luwak.
Jika Prabowo benar-benar ingin revolusi, ia harus siap mengguncang tatanan ini. Tapi masalahnya, bagaimana mungkin revolusi bisa terjadi jika ia dikelilingi oleh orang-orang yang justru menikmati status quo? Apakah ia akan menasionalisasi tambang-tambang besar yang dikuasai oligarki? Apakah ia akan benar-benar mengembalikan tanah rakyat yang dirampas oleh perusahaan besar? Atau, apakah ia hanya akan meneruskan pola lama: sesekali mengkritik oligarki, lalu diam ketika mereka mulai membiayai kebijakan-kebijakan strategisnya?
Jika kita mengacu pada sejarah, pemimpin yang berjanji akan menantang oligarki sering kali berakhir menjadi bagian dari mereka. Seperti kopi yang katanya “100% asli” tapi ternyata dicampur jagung sangrai, politik Indonesia sering kali terlihat revolusioner di permukaan, tapi begitu diseruput, rasanya tetap saja seperti formula lama.
Demokrasi di Kedai Kopi, Oligarki di Lahan Tambang
Jika ada satu hal yang tidak berubah dalam politik Indonesia, itu adalah kenyataan bahwa demokrasi sering kali hanya berhenti di kedai kopi, sementara oligarki yang sesungguhnya mengendalikan tambang, perkebunan, dan kebijakan ekonomi.
Demokrasi kita munglin semakin mirip kopi sachet instan: dikemas dengan slogan menarik, tapi saat diminum, rasanya standar dan penuh zat aditif. Pemilu tetap diadakan, debat capres tetap digelar, media tetap menyiarkan “indeks demokrasi,” tapi di belakang layar, segelintir elite tetap mengendalikan permainan.
Jika Prabowo benar-benar ingin menjadikan Indonesia persis dalam bayangan pemikirannya yang ia tulis dalam buku “Paradoks Indonesia dan Solusinya”, maka ia harus siap menyajikan kopi yang berbeda. Bukan lagi kopi manis yang membuat rakyat terlena, bukan kopi pahit yang dipaksakan, tapi kopi yang jujur. Dan kalau rumor ‘macan ternyata kucing’ itu benar maka setidaknya kita masih punya kopi untuk menemani menonton drama politik yang semakin absurd.***