Kedaikopilitera.com – Pernahkah Anda terdampar di sebuah kedai kopi pinggiran jalan saat larut malam? Suasananya mungkin serupa hasil corat-coret sketsa pensil yang buram dengan nuansa realisme sosial, warna-warna earthy tone, dan pencahayaan dramatis ala film noir. Dindingnya dihiasi rak kayu dengan toples-toples berisi biji kopi, beberapa labelnya sudah mulai pudar. Lampu gantung kuning redup menciptakan bayangan panjang di meja kayu yang terlihat agak lusuh. Ada papan menu di belakang barista, dengan harga yang ditulis pakai kapur. Di bagian bawahnya, ada coretan kecil: “Harga bisa berubah sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan.”
Uap kopi mengepul dari cangkir, mengisi udara dengan aroma yang menjanjikan. Seperti efisiensi anggaran: tercium nikmat, tapi sudah terasa pahit di ujung lidah.
Mungkin kita akan menemukan seorang pria di sana dengan kantung mata sehitam americano menatap layar ponselnya. Berita soal efisiensi anggaran pemerintahan Prabowo lewat di berandanya seperti barista magang yang sok tahu soal kopi: banyak jargon, sedikit substansi. Pemerintah berjanji akan menghemat pengeluaran, tapi yang terjadi justru seperti menu di coffee shop kekinian—yang sederhana malah diutak-atik jadi makin mahal.
“Tenang, kita bakal mengurangi anggaran yang tidak penting,” kata mereka. Tapi seperti orang yang bersumpah mau mengurangi gula, tiba-tiba justru pesan kopi dengan ekstra sirup karamel dan whipped cream setinggi harapan rakyat. Anggaran pertahanan naik drastis, sementara janji penghematan masih dikocok-kocok seperti barista yang overacting mengguncang shaker espresso martini.
Sementara itu jauh di luar sana, seorang pegawai negeri seperti pria tadi mulai menemukan cara berhemat yang lebih ekstrem di rumahnya. “Kopi sachet masih terlalu mewah,” pikirnya. Ia mulai mempraktikkan seni membuat recycled coffee: ampas kemarin diseduh lagi, lalu ditambah sedikit air mata untuk sentuhan garam alami. Efisiensi tingkat tinggi!
Di dunia politik, janji efisiensi itu seperti kopi instan: mudah dibuat, cepat diseduh, dan rasanya… ya, begitulah. Dalam Animal Farm karya George Orwell (1945), para babi penguasa berjanji akan membangun dunia yang lebih baik untuk semua hewan. Tapi apa yang terjadi? Mereka justru menikmati anggur di rumah besar sementara yang lain tetap kerja rodi di ladang. Bedanya, di sini bukan anggur, tapi mungkin kopi luwak yang harganya lebih mahal dari sebulan gaji sebagian orang.
Ekonom dari Indef menyebut, “Tanpa reformasi struktural, efisiensi itu cuma mitos.” Mirip kopi decaf yang katanya tetap bisa bikin melek, padahal cuma ilusi. Tapi siapa yang peduli? Selama slogan masih bisa dijual, semuanya tetap tersaji dengan topping jargon ekonomis yang membingungkan. Bahkan dalam film The Wolf of Wall Street (2013), Jordan Belfort mengajarkan seni menjual mimpi: “Sell me this pen.” Pemerintah tampaknya belajar banyak dari situ—hanya saja kali ini, “Sell me this budget cut.”
Di meja sebelah, seorang pekerja kantoran mengaduk kopinya dengan pasrah. Mungkin dia sedang menghitung berapa gelas kopi yang harus ia kurangi bulan ini. Karena kalau pemerintah bisa berhemat dengan caranya sendiri, rakyat juga harus belajar menyesuaikan. Efisiensi versi rakyat? Kurangi jajan, lebih banyak minum air putih, dan pura-pura kenyang saat lihat tagihan listrik.
Di meja sebelahnya lagi, seorang mahasiswa mengaduk kopinya yang semakin encer. Ia sedang menghitung, apakah lebih baik mengurangi konsumsi kopi atau mulai berlatih minum kopi pahit tanpa ekspresi, seperti pejabat yang membaca laporan defisit tanpa merasa bersalah.
Dan di luar sana, uap janji-janji terus diseduh ulang, diaduk dengan harapan, dan disajikan dengan senyum diplomatis—meski kita semua tahu, pahitnya tidak akan pernah benar-benar hilang.***