Kedaikopilitera.com – Hujan turun pelan di sepanjang jalan poros Bulukumba-Sinjai pada Sabtu malam, 1 Februari 2025, mengetuk atap seng Kedai Kopi Litera dengan ritme yang tak tergesa. Asap kopi melayang tipis, bercampur dengan udara basah. Malam itu, bukan hanya kopi yang diseruput. Kata-kata mengalir, membahas literasi, lingkungan, dan bagaimana membaca dunia lebih dari sekadar teks di halaman buku.

Obrolan Kedai Kopi, diskusi berkala yang digelar di tempat ini, kembali berlangsung. Malam itu, dua anak muda yang sudah lama berkecimpung dalam gerakan literasi di Bulukumba hadir: Musakkir Basri, pendiri Rumah Buku di Desa Bontonyeleng, dan Abdul Haris Mubarak, pendiri TBM Rumah Nalar di Desa Anrang.

Zine: Lembar Kecil yang Mengubah Cara Bercerita

Bagi Musakkir Basri, literasi bukan hanya soal membaca, tapi juga keberanian untuk menulis dan berpikir kritis. Ia memilih zine sebagai medianya—publikasi kecil, murah, tapi punya kebebasan penuh.

“Kami ingin memberi ruang bagi suara-suara yang mungkin tak terdengar di luar sana,” katanya.

Di Bulukumba, zine belum banyak dikenal. Tapi Musakkir percaya, di tangan anak-anak muda, media ini bisa menjadi alat yang kuat. Di Rumah Buku yang ia dirikan, orang-orang datang bukan sekadar meminjam bacaan, tapi juga mencatat pengalaman, mengarsipkan keseharian, dan mengubahnya menjadi narasi.

Bukan hanya soal kreativitas, zine juga menjadi alat kritik sosial. Komunitas yang ia bangun mendorong anak-anak muda Bulukumba untuk melihat lebih dekat: bagaimana sawah-sawah beralih fungsi, bagaimana sungai yang dulu jernih kini mulai keruh, bagaimana perubahan di sekitar mereka tak selalu memberi ruang bagi yang kecil.

“Literasi bukan hanya tentang membaca, tapi memahami dan merespons apa yang terjadi di sekitar kita,” ujarnya.

Literasi yang Berakar di Tanah Sendiri

Jika Musakkir menumbuhkan gairah literasi lewat tulisan, Abdul Haris Mubarak menanamnya lewat tradisi dan lingkungan. TBM Rumah Nalar yang ia rintis di Desa Anrang berdiri di antara sawah dan pepohonan. Buku-buku di sana tidak sekadar ditumpuk di rak, tapi juga hidup dalam cerita rakyat, dalam diskusi di bawah pohon waru, dalam percakapan tentang tanah dan laut.

“Literasi harus bersentuhan langsung dengan kehidupan masyarakat,” katanya.

Bagi Haris, membaca buku saja tidak cukup. Literasi sejati adalah mengenali lingkungan, memahami sejarah, dan menjaga apa yang diwariskan. Di Rumah Nalar, anak-anak muda Bulukumba belajar bukan hanya dari buku, tapi juga dari filosofi pertanian, dari sungai yang mengalir di desa mereka, dari cara nenek moyang mengelola tanah tanpa merusaknya.

Hujan mulai reda, menyisakan sisa tetes yang jatuh pelan dari ujung atap seng. Kopi di cangkir mulai dingin, tapi diskusi masih berlanjut.

“Obrolan Kedai Kopi bukan sekadar perbincangan,” kata Sri Puswandi, Ketua Dana Mitra Tani Bulukumba, salah satu inisiator diskusi ini. “Ini adalah awal dari percakapan lain—tentang buku, tanah, dan bagaimana kata-kata bisa mengubah cara kita melihat dunia.”

Di luar, jalanan mulai lengang. Tapi di dalam, obrolan tetap menyala. Literasi di Bulukumba menemukan jalannya sendiri—melalui zine, buku, dan percakapan yang tak berakhir di satu malam.***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *