Kedaikopilitera.com – Di pagi hari yang sibuk di jantung kota, aroma kopi menguar seperti alarm tambahan yang membangunkan penduduk urban. Di sebuah coffee shop minimalis bergaya industrial, seorang pekerja kantoran buru-buru mengambil gelas kertasnya sambil setengah berlari ke halte bus. Di sudut lain, seorang pelanggan sibuk memotret latte art berbentuk daun pakis untuk diunggah ke Instagram, mungkin dengan caption seperti “Morning vibes.” Bukan lagi sekadar minuman, kopi telah menjelma menjadi simbol gaya hidup urban—sebuah budaya yang perlahan tapi pasti tumbuh bersama modernitas kota.

Namun, kopi punya sejarah panjang sebelum menjadi bagian dari estetika hidup kita. Catherine M. Tucker dalam Coffee Culture: Local Experiences, Global Connections (2011) mencatat bahwa kopi dulunya adalah komoditas kolonial, simbol kekuasaan ekonomi global. Di Indonesia, kedai kopi adalah ruang sosial klasik di mana segala strata masyarakat larut dalam percakapan, dari isu harga gabah hingga politik nasional.

Di kedai kopi, tidak ada istilah single origin atau blend. Kopi tubruk dihidangkan begitu saja, tanpa embel-embel deskripsi rasa seperti “hint of chocolate” atau “citrusy finish.” Satu-satunya yang penting adalah kopi itu kuat dan murah. Warung kopi tradisional adalah tempat manusia bertukar cerita, menghisap rokok kretek sambil menyeruput cairan hitam pekat yang menempel di bibir gelas kaca.

Coffee shop: Dari minuman ke pencitraan

Masuk ke era modern, kota-kota besar mulai dibanjiri dengan coffee shop yang menawarkan lebih dari sekadar kopi. Jonathan Morris dalam Third Wave Coffee: A Movement of Coffee Consciousness menjelaskan fenomena third wave coffee, di mana kopi tidak lagi hanya soal rasa, tapi juga pengalaman. Ruang-ruang ini didesain dengan estetika minimalis, lampu temaram, dan musik indie yang mendayu, menciptakan suasana yang nyaris memaksa pengunjung untuk merasa produktif—meski faktanya mereka hanya memandangi layar laptop tanpa mengetik apa pun.

Di sinilah kopi berubah menjadi medium pencitraan. Kopi yang dulunya minuman sederhana kini menjadi sesuatu yang harus “dimengerti.” Barista dengan serius menjelaskan perbedaan antara cold brew dan iced coffee, sementara pelanggan mengangguk, meskipun sebenarnya tidak mengerti sama sekali. Pesanannya? “Apa saja yang instagrammable, Kak.”

Fenomena ini bahkan menjadi bahan ejekan dalam dokumenter A Film About Coffee (2014). Film ini menampilkan ironi bagaimana kopi—yang lahir dari tangan petani sederhana di Ethiopia atau Indonesia—berakhir di gelas kaca cantik dengan busa susu berbentuk hati, sebelum akhirnya menjadi latar belakang foto di media sosial.

Dinamika lokal vs global: Kopi dalam perang budaya

Namun, di balik semua estetika itu, ada perang budaya yang berlangsung di dunia kopi. Merry White dalam Coffee Life in Japan mencatat bahwa budaya kopi global sering kali berbenturan dengan tradisi lokal. Di Indonesia, kita melihat hal serupa. Coffee shop global seperti Starbucks membawa konsep latte culture, sementara gerakan kopi lokal berusaha mempertahankan identitasnya dengan mengangkat kopi Gayo, Toraja, atau Kintamani sebagai produk kebanggaan.

Ironisnya, bahkan kopi lokal pun kini “dimodernisasi” untuk memenuhi selera pasar urban. Kopi tubruk yang dulu disajikan sederhana kini harus diberi label mewah seperti “single origin Gayo, medium roast, dengan aroma jeruk nipis dan aftertaste cokelat.” Jurnal Cultural Hybridization in Coffee Consumption (International Journal of Business and Society, 2017) menyoroti bagaimana elemen tradisional sering kali disesuaikan untuk tetap relevan di pasar modern, menciptakan perpaduan antara globalisasi dan pelestarian budaya lokal.

Jika kedai kopi adalah tempat untuk berbagi tawa, coffee shop adalah tempat untuk berbagi estetika. Media sosial, terutama Instagram, memainkan peran besar dalam transformasi ini. Jurnal Social Media and the Aestheticization of Coffee (Journal of Digital Culture, 2020) mencatat bahwa latte art, interior kafe, dan gelas kopi dengan logo keren sering kali lebih penting daripada rasa kopinya sendiri.

“Kenapa latte art saya bentuknya nggak simetris?” tanya seorang pelanggan dengan nada setengah serius, seperti yang pernah digambarkan dalam film dokumenter Barista (2015). Latte art yang gagal bisa menjadi alasan kekecewaan, seolah-olah busa susu itu adalah refleksi langsung dari harga diri pelanggan.

Refleksi kita dalam cangkir kopi

Kopi, dalam segala bentuknya, adalah cerminan masyarakat urban: penuh gaya, sedikit ribet, tapi juga penuh ironi. Di warung kopi, ia menjadi medium kebersamaan. Di coffee shop, ia menjadi simbol estetika dan status. Dan di media sosial, ia adalah properti panggung untuk pencitraan digital.

Namun, ada satu hal yang tidak berubah. Di tengah segala perubahan fungsi dan maknanya, kopi tetap menjadi alasan untuk berhenti sejenak di tengah kesibukan, menarik napas, dan mungkin, merenung: apakah kita benar-benar minum kopi karena butuh, atau karena ingin terlihat seperti “manusia urban sejati”?

Catherine M. Tucker benar ketika menyebut kopi sebagai bahasa universal dalam Coffee Culture: Local Experiences, Global Connections. Tapi jika kopi bisa berbicara, ia mungkin akan berkata: “Kalian terlalu serius tentang aku.”***

By Alfian Nawawi

Owner Kedai Kopi Litera

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *