Kedaikopilitera.com – Ulasan ini tentu saja sangat serius pada hal-hal yang tidak serius karena saya bukan pengamat politik, melainkan hanya pengamat poligami dan poliandri. Dalam Pilkada Buludomba 2024, dua pasangan calon—Harapan Balik Kanan dan Jadi Mini—bertarung dengan strategi dan slogan-slogan yang kadang begitu absurd, hingga warga desa tidak bisa menahan tawa. Kampanye ini tak hanya dipenuhi oleh janji-janji politik, tetapi juga oleh aksi-aksi pendukung yang luar biasa kocak, nyaris menyerupai adegan dalam film komedi. Banyak di antara debat kusir antar pendukung dua paslon merambah grup-grup WhatsApp, salah satu diantaranya adalah grup ‘Bulukumba Sicaritai’.
Harapan Balik Kanan sebagai petahana dikenal dengan gaya kampanye mereka yang penuh optimisme dan proyek fisik yang sudah terlihat di mana-mana. Mereka menyampaikan janji-janji yang seringkali mengawang-awang. Salah satu acara kampanye yang tak terlupakan adalah ketika pendukung mereka membawa miniatur raksasa dari sebuah jembatan yang belum selesai dibangun, lengkap dengan lampu-lampu LED yang menyala-nyala. Konon, miniatur itu begitu besar hingga harus diangkut menggunakan truk besar dan sempat menabrak tiang listrik di pasar Buludomba, membuat seluruh desa mati lampu selama beberapa jam. Momen ini menjadi meme favorit di media sosial, dengan gambar miniatur jembatan yang diiringi teks: “Jembatan Harapan, Listrik Padam.”
Sebagai paslon yang memiliki sumber daya finansial melimpah, Harapan Balik Kanan tidak tanggung-tanggung dalam kampanye mereka. Mengacu pada penelitian oleh Acemoglu dan Robinson dalam Why Nations Fail (2012), kekuatan ekonomi memang seringkali menjadi faktor kunci dalam memenangkan hati masyarakat. Namun, di Buludomba, kampanye ala Harapan Balik Kanan kadang justru terlihat berlebihan. Salah satu peristiwa paling menggelikan adalah ketika mereka mengadakan acara peresmian proyek pembangunan kolam renang, padahal desa tempat proyek itu direncanakan belum memiliki pasokan air bersih yang cukup. Penduduk bingung—untuk apa kolam renang tanpa air?
Salah satu pendukung Harapan Balik Kanan yang sangat bersemangat bahkan sempat mengusulkan agar patung calon dipajang di alun-alun desa, seperti layaknya pahlawan perang. “Biar rakyat tahu, ini adalah pemimpin besar!” katanya dengan mata berbinar. Usulan ini langsung menjadi bahan olok-olokan warga, karena patung itu dinilai terlalu cepat dibangun untuk seseorang yang belum tentu terpilih kembali. Akibatnya, istilah “pemimpin besar” pun berubah menjadi lelucon di kalangan masyarakat.
Sementara itu, Jadi Mini, meskipun tak punya banyak uang seperti rival mereka, memilih pendekatan yang lebih filosofis—atau mungkin lebih tepat disebut komedi spiritual. Slogan mereka, “Takdir tak bisa dibeli”, berhasil menyentuh hati warga dengan cara yang sedikit unik. Salah satu acara kampanye Jadi Mini adalah “Meditasi Takdir” di mana seluruh pendukung duduk diam di lapangan desa sambil menatap langit, menunggu “ilham kemenangan” turun. Sayangnya, acara tersebut malah berakhir dengan sebagian besar peserta yang tertidur pulas, membuat panitia kampanye terpaksa membangunkan mereka ketika acara selesai.
Jika kita mengacu pada teori legitimasi politik ala Max Weber dalam Politics as a Vocation (1919), pendekatan Jadi Mini yang memusatkan pada aspek moral dan spiritual ini sebenarnya bisa masuk akal. Namun, di Buludomba, pendekatan ini seringkali berakhir dengan hasil yang sedikit kacau. Salah satu contoh yang tak terlupakan adalah parade pendukung Jadi Mini yang membawa kue tart raksasa bertuliskan “Kemenangan Takdir.” Kue ini diarak keliling desa dengan harapan bahwa takdir memang memihak pada mereka. Sayangnya, kue itu jatuh tepat di tengah jalan, dan akhirnya menjadi santapan mendadak bagi anjing-anjing liar yang melintas.
Takdir pun seolah berbalik lagi saat mereka mencoba kampanye “Pertanda Alam.” Dalam salah satu acara, pendukung Jadi Mini mengklaim bahwa burung yang terbang di atas mereka adalah pertanda baik dari alam. Namun, burung itu malah “meninggalkan hadiah” di kepala salah seorang tokoh masyarakat yang hadir. Alih-alih merasa diberkahi, sang tokoh tampak muram dan langsung meninggalkan acara dengan handuk menutupi kepalanya.
Pendukung Jadi Mini juga memiliki selera humor yang luar biasa absurd. Salah satu meme yang paling banyak dibagikan adalah gambar Jadi Mini dengan teks: “Mini tapi pasti. Pasti mini!” Meme ini dengan cepat menyebar di media sosial, menjadikan Jadi Mini semacam ikon lelucon politik yang disukai banyak orang, terutama kaum muda. Fenomena ini mengingatkan kita pada teori Herbert Spencer tentang seleksi alam sosial, di mana adaptasi melalui humor dan kreativitas dapat menjadi alat untuk bertahan dalam kompetisi politik (Spencer, 1851).
Duel Humor Antar Kubu
Di tengah-tengah persaingan ini, duel antar pendukung menjadi salah satu tontonan utama yang tak kalah menghibur. Pendukung Harapan Balik Kanan yang cenderung serius sering kali merasa bingung menghadapi sindiran-sindiran lucu dari kubu Jadi Mini. Dalam salah satu aksi kampanye, pendukung Harapan Balik Kanan menyebarkan poster besar yang menampilkan gambar pembangunan jembatan setengah jadi dengan tulisan: “Kita Bangun, Kita Lengkapi.” Kubu Jadi Mini dengan cepat merespons poster ini dengan versi mereka sendiri, menempelkan gambar jembatan yang sudah jadi namun dengan bagian tengahnya hilang, dan menambahkan teks: “Kami Lengkapi, Tapi Hati-hati di Tengah Jalan!”
Aksi saling sindir ini terus berlangsung di media sosial dan bahkan di lapangan kampanye. Salah satu pendukung Jadi Mini dikenal gemar membawa papan bertuliskan “Takdir Menang, Beton Bisa Retak!” saat mengikuti pawai kampanye Harapan Balik Kanan. Meskipun dianggap provokatif, aksinya sering kali disambut dengan tawa, bahkan dari pendukung lawan.
Pilkada adalah Panggung Hiburan Rakyat
Kedua kubu, dengan segala keunikannya, telah berhasil menghibur warga desa melalui kampanye-kampanye yang tidak hanya menyentuh hati, tetapi juga mengocok perut. Elemen-elemen absurd, mulai dari miniatur jembatan yang tersesat hingga parade kue yang dimakan anjing, menjadikan Pilkada ini lebih dari sekadar pemilihan kepala daerah—ini adalah pesta demokrasi yang tak terlupakan.
Dan meskipun hasil akhirnya mungkin akan menentukan masa depan Buludomba, satu hal yang pasti: siapapun yang menang, rakyat Buludomba akan selalu mengingat Pilkada 2024 sebagai momen di mana politik, humor, dan absurditas berpadu dalam harmoni yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya. Pada akhirnya, siapa yang akan berhasil menghibur rakyat dengan lebih bagus? Kita tunggu hari pencoblosan.
Disclaimer: Tulisan ini hanya esai humor atau humor politik untuk menghibur. Jika ada nama dan tempat yang kebetulan rada mirip maka itu benar ada unsur kesengajaan penulis.