Kedaikopilitera.com – Jika Aristoteles hidup di zaman sekarang, mungkin dia tidak akan mengajar filsafat di Agora, melainkan menjadi admin grup WhatsApp yang penuh meme dan tautan. Pilkada Bulukumba 2024 akan segera tiba, dan kegaduhan sudah jauh hari sebelumnya memanaskan sudut-sudut kampung. Seperti saat menyeduh kopi yang terlalu lama, aroma gosong sudah lama menyebar. Saat kita duduk di kedai kopi atau sekadar scrolling di sebuah grup WhatsApp, maka segala wacana pun bisa diseruput, debat kusir, dan teori konspirasi tersaji dengan semangat yang lebih berapi-api dibandingkan secangkir espresso. Sebagaimana yang pernah diungkapkan Habermas dalam teori public sphere-nya, kedai kopi menjadi ruang diskusi informal, tapi kini ia bercampur dengan media sosial yang tak punya batas waktu atau tempat​.

Kedai kopi memang bukanlah satu-satunya arena tempat perdebatan politik terjadi. Diskusi utama kini telah banyak bergeser ke platform digital, karena bisa lebih leluasa bersembunyi melalui akun fake. Pilkada Bulukumba tahun ini lebih dari sekadar ajang pemilihan, ia telah menjadi festival opini liar dan narasi politik absurd yang meriah. Ini mengingatkan kita pada absurditas yang sering digambarkan dalam film Dr. Strangelove karya Stanley Kubrick, di mana perang nuklir yang serius dihadapi dengan dialog penuh satire dan kebingungan​.

Di era digital ini, arena utama debat politik sudah berpindah ke genggaman tangan kita. Jika dulu rakyat berdebat di alun-alun kota, kini debat kusir itu beralih ke grup WhatsApp keluarga besar atau alumni sekolah. Di grup-grup ini, semua orang tiba-tiba menjadi pakar politik dadakan. Sebagaimana digambarkan dalam Amusing Ourselves to Death oleh Neil Postman, teknologi digital telah mengubah debat politik menjadi ajang hiburan, di mana informasi serius bercampur dengan narasi bombastis yang memancing emosi daripada logika​.

Begitulah kisah pasangan calon anu, yang sejak beberapa pekan terakhir jadi bahan gunjingan di segala platform. Menurut pemberitaan di beberapa media lokal, paslon ini diduga terlibat pelanggaran administrasi yang serius. Jika terbukti, mereka bisa dianulir dari pencalonan, seperti tokoh dalam The Trial karya Franz Kafka, yang terjebak dalam birokrasi tanpa jalan keluar​. Di grup WhatsApp, berita ini berkembang menjadi narasi epik. Seseorang mengirim pesan berantai, menambahkan bumbu dramatis: “Kalau ini benar, tamat sudah harapan Bulukumba!”

Kedai Kopi, Markas ‘Teori Konspirasi’

Sementara perdebatan di grup WhatsApp tak kunjung reda, suasana di kedai kopi pun tak jauh berbeda. “Bro, lu tau nggak, katanya calon nomor anu itu bisa dianulir,” kata Ali, seorang pria paruh baya yang rutin nongkrong di kedai kopi langganan. Dia sekilas mirip dalam kisah Milan Kundera, The Book of Laughter and Forgetting, di mana politik lokal menjadi ajang kelucuan tragis, di mana ingatan publik dapat dimanipulasi demi kepentingan elite .

Tentu saja, seperti di setiap diskusi kedai kopi, fakta dan opini bercampur tanpa kendali. Diskusi tentang integritas Pilkada berubah menjadi konspirasi seputar “kekuatan besar” di balik layar. Di sini, politik menjadi seperti yang diungkapkan dalam buku Homo Deus karya Yuval Noah Harari: realitas digantikan oleh narasi yang paling kuat, bukan yang paling benar .

Di Facebook, postingan panjang tentang dugaan pelanggaran paslon anu menjadi bahan bakar kebencian. Sebagaimana yang digambarkan dalam film The Social Dilemma, algoritma media sosial memang dirancang untuk memprioritaskan konten yang memicu reaksi emosional, sehingga debat kusir politik ini tak ubahnya kereta api yang kehilangan kendali .

Ironisnya, paslon sendiri kadang ikut serta dalam grup-grup ini, meskipun lebih sering mengintip tanpa suara. Ketika jemari mereka gatal, mereka tak segan-segan nimbrung, baik menggunakan akun anonim maupun resmi. Namun, alih-alih meredam rumor, kehadiran mereka justru sering kali memperkeruh suasana. Reaksi masyarakat terhadap pernyataan paslon ini seperti adegan dari film Wag the Dog, di mana manipulasi politik di belakang layar begitu kuat hingga kebenaran dan ilusi hampir tidak bisa dibedakan lagi .

Diskusi online yang panas mulai merembet ke dunia nyata. Para pendukung paslon yang sudah terprovokasi kadang membawa semangat debat kusir ini ke jalanan. Fenomena ini mirip dengan apa yang digambarkan di buku Manufacturing Consent oleh Noam Chomsky, di mana media dan propaganda memainkan peran besar dalam membentuk opini publik, terkadang jauh dari kebenaran .

Di kedai kopi, suasana pun semakin memanas. Diskusi ringan tentang politik mulai menjadi lebih serius dan emosional. Mereka yang sebelumnya tertawa bersama kini saling beradu argumen dengan penuh semangat. Ali yang biasanya kalem, mulai bicara dengan nada yang lebih tajam. Budi pun ikut terseret, meski masih mencoba berdiri di tengah.

Ketika Realitas Tertutup oleh Narasi

Di balik semua kebisingan politik ini, nasib sebenarnya dari Bulukumba sering terlupakan. Debat politik di media sosial dan WhatsApp lebih banyak berkisar pada drama pelanggaran dan rumor. Ini mengingatkan kita pada novel 1984 karya George Orwell, di mana realitas publik sepenuhnya dibentuk oleh propaganda yang paling keras dan persuasif . Di dunia maya, video-video yang mendiskreditkan paslon anu mulai bermunculan di TikTok, diiringi musik dramatis dan narasi yang penuh tuduhan.

Namun di tengah semua kekacauan, ada satu hal yang menyelamatkan: humor. Meme-meme satir tentang Pilkada Bulukumba 2024 menyebar di media sosial, menggambarkan paslon sebagai pahlawan gagal atau tokoh kartun yang terjebak dalam skandal. Ini mengingatkan kita pada film Monty Python and the Holy Grail, di mana absurditas dan komedi digunakan untuk meredakan ketegangan dalam situasi serius . Humor menjadi pelarian bagi masyarakat yang lelah dengan drama politik, sekaligus ruang untuk menertawakan kegilaan yang ada.

Hanya saja, ada satu kegilaaan yang mereka kerap lupa: “Suatu hari nanti, di Pilkada yang lain, mereka yang berdebat hari ini pada akhirnya akan semeja ngopi bareng untuk meramu tujuan dan kepentingan bersama sambil melupakan masing-masing kawan yang tak lagi sejalan.”***

By Alfian Nawawi

Owner Kedai Kopi Litera

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *