Kedaikopilitera.com – Seperti yang ditulis Nassim Nicholas Taleb dalam “The Black Swan: The Impact of the Highly Improbable” (Random House, 2007), terkadang, dalam menghadapi ketidakpastian, kita harus siap menerima bahwa perubahan bisa datang dari tempat yang paling tidak terduga—bahkan dari kedai kopi di sebuah kabupaten kecil. Taleb merujuk pada satu gagasan tunggal: “kebutaan kita terhadap kebetulan, terutama penyimpangan besar.” Buku ini bergerak dari subjek sastra di bagian awal ke subjek ilmiah dan matematis di bagian-bagian berikutnya, lalu mendalami psikologi. Taleb juga membahas sains dan bisnis yang diakhiri saran tentang bagaimana menghadapi dunia dalam ketidakpastian dan tetap menikmati hidup.
Tapi tentu saja tak ada larangan melupakan buku apapun saat memasuki musim kemarau -terutama kemarau gagasan- dan saat langit mendung masih saja menggoda Kabupaten Buludomba. Sementara itu aroma kopi semakin menguar ke udara, menyelimuti berbagai penjuru dengan keharuman yang bisa membuat burung dongi-dongi berhenti bercicit.
Di kedai-kedai kopi, warga berkumpul sambil menyeruput kopi panas, mata kadang melotot, kadang terlibat dalam perdebatan sengit yang jauh lebih panas dari kopi yang mereka pegang. Bahkan lebih rumit dibanding debat kusir di ratusan grup WhatsApp dan berbagai platform media sosial. Topiknya bukan tentang kualitas biji kopi Robusta yang baru diimpor, nasib petani kopi, atau kelezatan kue kering buatan UMKM milik Puang Basse, tapi tentang Pilkada yang akan segera tiba: “Pilih tarajjong atau jalangkote?”
Tarajjong versus Jalangkote
Tarajjong dan jalangkote, dua camilan lokal yang dulu hanya numpang lewat di waktu ngemil, kini bisa dibayangkan keduanya sebagai teman kopi yang paling akrab: tarajjong agaknya cocok bagi pencandu kopi yang nendang, kuat, dan langsung ke inti, tanpa basa-basi. Sementara itu, jalangkote lebih menyerupai cappuccino yang cenderung ramai; setiap sesapan adalah pengalaman berbeda, dengan susu, busa, dan kadang-kadang sedikit taburan cokelat di atasnya.
Di satu sisi, tarajjong— petahana yang ingin bertahan. Bahan-bahan dasarnya simpel meskipun memang bertimbun di atas piring, sebuah koalisi yang gemuk, namun itu dari segi jumlah yang juga belum menentukan preferensi penikmat. Di sana ada tepung terigu, gula merah, sejumput garam, dan air. Kue tarajjong adalah lambang dari ‘yang sudah-sudah’, tradisi lama, dan kenangan masa lalu yang tidak mau lepas. Simbol ‘tak banyak bicara’ yang dipertahankan mati-matian oleh pendukungnya, yang percaya bahwa “yang penting kan kenyang dan terbuktikan, bukan meriah.”
Di sisi lain, ada jalangkote, yang tidak bisa begitu saja kita katakan lebih baik atau lebih buruk. Ia penuh warna, dengan bahan yang lebih kompleks: 250 gram tepung terigu serbaguna, 1 sdm tepung sagu, 1 butir telur, 30 gram margarin, 20 gram minyak goreng, 80 ml air, dan 1/2 sdt garam. Lalu isian yang bahkan lebih rumit—bihun, wortel, kentang, seledri, bawang putih, dan bawang merah, garam, gula, dan lada. Dan ingat, kadang ada tauge nyelip padahal tidak semua orang suka tauge! Pendeknya, jalangkote diklaim sebagai perubahan, inovasi, dan tentu saja sedikit kebingungan. Di sana banyak lawan yang jadi kawan, dan sebagian kawan pindah ke kubu lawan. Persis uraian dalam “The Art of Political Manipulation” oleh William H. Riker. Buku ini membahas bagaimana politisi dan pemimpin sering kali menggunakan taktik manipulatif untuk mendapatkan keuntungan dan mengubah aliansi. Ini menggambarkan bagaimana pergeseran kawan dan lawan adalah bagian dari permainan politik yang lebih besar.
Untuk memahami analogi kedua camilan ini, sebaiknya bacalah buku “Food Politics: What Everyone Needs to Know” oleh Robert Paarlberg (Oxford University Press, 2013), di mana kita bisa lebih memahami mengapa jalangkote, yang merepresentasikan gerakan penantang penuh harapan, dan sedikit bumbu dendam dari para kontraktor yang merasa tidak mendapat ‘jatah’ selama tarajjong memimpin.
Bagi sebagian warga Kabupaten Buludomba, tarajjong adalah representasi dari kebijakan yang sudah akrab sejak lima tahun terakhir. Sama seperti secangkir kopi hitam yang pahit, tarajjong tidak banyak basa-basi. Ia ada di sana, di kantor, di warung, di pasar, di sekolah, dan di rumah-rumah warga.
Pendukung tarajjong sering kali menyanjung hasil pekerjaan mereka sambil mengepalkan tangannya yang menggenggam gelas kopi panas. Bagi mereka, tarajjong adalah pilihan yang aman—tidak ada kejutan, tidak ada risiko. Seperti yang dijelaskan dalam “The Comfort of Things” oleh Daniel Miller (Polity, 2008), orang sering kali memilih yang sudah dikenal dan nyaman, bahkan ketika yang dikenal itu mungkin tidak lagi relevan dengan situasi saat ini.
Namun, tidak semua orang terbuai dengan pesona tarajjong, meskipun tajir melintir memelintir. Para kritikus dengan lantang mengatakan bahwa tarajjong itu seperti secangkir kopi yang sudah basi, dipertahankan di atas meja bukan karena rasanya, tapi karena tidak ada yang mau repot-repot membuat kopi yang baru. Mereka mengeluhkan bahwa di balik pencitraannya yang luar biasa, tarajjong menyembunyikan kerakusan yang licin, memonopoli semua sumber daya lokal, mengabaikan kebutuhan pembagian pembangunan yang lebih modern, bahkan bisa saja menghabisi nilai-nilai demokrasi.
Buku “Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity, and Poverty” oleh Daron Acemoglu dan James A. Robinson (Crown Business, 2012) menyoroti bagaimana kekuasaan yang stagnan sering kali berujung pada kemunduran ekonomi dan sosial. Kue tarajjong, dengan segala kekakuan dan kekuatannya, mungkin cocok dengan teori ini. Apa gunanya memegang kekuasaan kalau hanya untuk membangun istana megah yang ternyata bukan untuk semua orang?
Jalangkote: Koalisi Pembaruan atau Sekadar Barisan Sakit Hati?
Lalu ada jalangkote, penantang baru yang penuh dengan janji dan semangat—dan sedikit aroma dendam. Tidak seperti tarajjong yang sudah ada di zona nyaman, jalangkote hadir dengan tawaran yang lebih menggoda: inovasi, keragaman, dan sesuatu yang baru di setiap gigitan. Jalangkote adalah representasi dari kekuatan yang penuh gairah, namun juga sedikit tidak teratur. Setiap bahan dalam jalangkote mewakili kepentingan berbeda; bihun adalah suara kelas menengah yang ingin lebih diperhatikan, kentang adalah kalangan petani yang menuntut harga yang adil, sementara bawang putih dan bawang merah adalah kontraktor-kontraktor yang tidak mendapat proyek dan sekarang berusaha masuk dengan cara apa pun.
Jalangkote, dalam konteks ini, bisa dilihat sebagai perwujudan dari mereka yang merasa ‘tidak kenyang’ selama pemerintahan tarajjong. Kudapan jalangkote adalah senjata makan siang mereka, harapan terakhir untuk meraih sepotong kue kekuasaan. Meskipun ada yang harus “berpura-pura atau terpaksa” masuk satu barisan, mungkin sebagai bihun atau tauge yang rasanya menyebalkan bagi sebagian penikmat jalangkote.
Namun, apakah jalangkote benar-benar tawaran yang lebih baik? Para pendukung tarajjong dengan sinis menyebut jalangkote sebagai “camilan rasa dendam”—tidak lebih dari kumpulan bahan yang tidak saling melengkapi, berusaha keras untuk menunjukkan bahwa mereka lebih baik hanya karena mereka berbeda. “Camilan ini seperti kopi yang dicampur dengan segala macam rempah, hasilnya malah bikin sakit perut!” teriak seorang pengamat politik lokal yang sering menghabiskan waktunya di kedai kopi, mencoba menguraikan politik dengan analogi minuman. Dan tentu saja dia tak cukup layak disebut ‘pengamat politik’ jika di kepalanya masih ada kecenderungan keberpihakan.
Para pendukung jalangkote menolak anggapan ini. “Ini bukan soal dendam,” bantah mereka, “Ini soal kesempatan yang adil untuk semua.” Mereka mengklaim bahwa jalangkote adalah gambaran dari masyarakat yang lebih inklusif dan responsif terhadap kebutuhan semua orang. Tapi, skeptisisme tetap ada. Apakah jalangkote benar-benar mampu menyatukan semua elemen ini menjadi sesuatu yang lebih lezat daripada tarajjong? Atau akankah ia hanya menjadi hidangan yang terlalu pedas untuk dinikmati? Bukankah jalangkote memang tak lengkap jika tanpa kehadiran sambel khas: cuka dan cabe?
Di tengah perdebatan ini, kedai-kedai kopi di Kadipaten Buludomba telah menjadi forum diskusi, setiap cangkir kopi menjadi metafora dari pilihan politik yang diambil warga. Mengutip buku “Coffee and Power: Revolution and the Rise of Democracy in Central America” oleh Jeffery Paige (Harvard University Press, 1997), kedai kopi sering kali menjadi pusat dari diskusi politik dan perubahan sosial. Di Buludomba, tidak ada yang berbeda; setiap seruput kopi menjadi saksi bisu dari pertarungan ideologi antara kubu tarajjong yang konservatif dan jalangkote yang progresif.
Ada sesuatu yang menarik tentang melihat politik dari perspektif kopi dan camilan. Sama seperti secangkir kopi yang bisa memberikan kehangatan di pagi hari yang dingin atau membuat perut mulas jika diminum terlalu banyak, pilihan antara tarajjong dan jalangkote juga memiliki konsekuensi masing-masing. Mungkin, dalam sejumput sarkasme yang lebih tajam dari kopi, ada pelajaran berharga tentang bagaimana kita memilih pemimpin—dan camilan—yang akan menemani kita dalam menjalani hari-hari mendatang.
Para pendukung jalangkote, dengan semangat yang tak kalah dari kopi Arabica, berusaha meyakinkan para pemilih bahwa waktu untuk perubahan telah tiba. Mereka berargumen bahwa Kadipaten Buludomba butuh lebih dari sekadar camilan lama yang sudah basi. “Kita butuh sesuatu yang baru, yang berwarna, dan yang memberikan rasa berbeda di setiap gigitannya!” teriak mereka. Bagi mereka, jalangkote adalah harapan untuk pembaruan, meskipun pembaruan itu datang dengan sedikit rasa sakit perut karena eksperimen yang berlebihan.
Namun, para loyalis tarajjong tetap menolak tergoda oleh ‘janji manis’ jalangkote. Mereka memperingatkan bahwa terlalu banyak inovasi dalam politik, seperti dalam kopi, bisa menghasilkan rasa yang tidak diinginkan. “Apa gunanya kopi kalau tidak bisa dinikmati?” tanya seorang pemuda sambil mengangkat cangkir kopinya tinggi-tinggi, seolah menyindir lawannya dengan simbol yang lebih kuat daripada kata-kata.
Ketika matahari mulai tenggelam di balik perbukitan Kadipaten Buludomba, Pilkada niscaya akan segera tiba, dan pertanyaan besar masih menggantung di udara, bercampur dengan aroma kopi yang mulai dingin: “Apakah kita memilih tarajjong yang sudah dikenal dan nyaman, atau jalangkote yang menjanjikan sesuatu yang baru, namun belum tentu lebih baik?”
Jadi, saat Anda memegang cangkir kopi Anda, tarik napas dalam-dalam. Rasakan aromanya, pikirkan pilihan Anda. Apakah Anda memilih karena takut akan perubahan, atau karena Anda ingin mencoba sesuatu yang baru? Apa pun pilihan Anda, satu hal pasti: Pilkada Kadipaten Buludomba kali ini tidak akan berakhir di bilik suara. Ia akan terus diperdebatkan, didiskusikan, dan—tentu saja—diminum bersama secangkir kopi.
Saya sendiri setiap kali ditanya, “pilih tarajjong atau jalangkote?” maka saya lebih memilih menjawab “kopi”. Karena kopi tanpa kedua camilan itu tetaplah menguar menjadi sebuah kemerdekaan. Termasuk kemerdekaan berpikir.
Oh ya, nyaris lupa, mengapa namanya adalah Kabupaten Buludomba? Jawabannya mudah saja. Tengoklah kembali hikayat lama tentang legenda musang dan serigala yang butuh pakaian kamuflase. Mereka membutuhkan “bulu domba” agar tidak dinilai sebagai karnivora yang ganas. Dan tentu saja tak ada satu pun spesies dari karnivora yang benar-benar menyukai kopi. Betapa sulitnya mengajak mereka ngopi, bukan? ***