Kedaikopilitera.com – Dalam musim politik, tak ada kota hingga dusun yang pernah benar-benar tidur. Seperti terlihat pada sebuah kedai kopi kecil yang berdiri angkuh di sudut sebuah kota penuh sampah di antara gedung-gedung yang semakin tinggi. Malam baru saja mulai turun, dan lampu-lampu jalan berpendar lembut, membentuk bayangan panjang di atas trotoar yang retak. Suara klakson kendaraan yang bersahutan menjadi irama latar bagi kehidupan yang terus bergerak, sementara di dalam kedai, suasana begitu berbeda. Di sini, waktu seolah-olah berjalan lebih lambat, menyeret dirinya sendiri dengan tenang di antara aroma kopi yang pekat dan tawa kecil yang menggelinding seperti kerikil di jalan berdebu.

Kedai ini, dengan dinding-dinding yang dipenuhi coretan tangan dan poster usang dari zaman revolusi, menjadi panggung tak resmi bagi diskusi politik yang tiada akhir. Meja-meja kayu tua yang tak pernah benar-benar seimbang menjadi saksi bisu dari percakapan penuh gairah, di mana kata-kata mengalir deras seperti kopi hitam yang dituangkan dari teko kuningan. Di sini, secangkir kopi adalah penampung seluruh perasaan yang tertahan, sebuah simbol dari harapan yang digantungkan tinggi-tinggi di langit-langit penuh asap rokok.

Musim politik telah tiba. Pilkada 2024! Di kedai kopi ini, musim politik disambut dengan cangkir-cangkir kopi yang terus-menerus diisi, karena tahu, di tengah hiruk-pikuk musim politik ini, hanya di sinilah tempat menemukan kehangatan di tengah malam yang semakin dingin. Para pengunjung berdatangan, satu per satu, dengan membawa cerita mereka sendiri, mencoba menenangkan pikiran yang kalut dengan secangkir kopi panas yang menghembuskan uap seperti napas seorang petarung yang kelelahan.

Seorang pelanggan setia, dengan mata yang menyiratkan keletihan seorang pejuang yang terusir dari medan perang, berujar sambil tertawa getir, “Putusan MK kali ini, seperti pesanan kopi yang datang terlambat, sudah basi sebelum diminum. Entah siapa barista di balik konspirasi ini, tapi rasanya kita semua akan tetap disajikan kopi dingin.”

Bagi sejumlah orang, Putusan Mahkamah Konstitusi yang terbaru, seperti halnya kopi yang datang tanpa takaran yang pasti—kadang manis, kadang terlalu pahit, seringkali membuat lidah kelu karena terlalu panas untuk dinikmati.

Menurut Benedict Anderson dalam bukunya “Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism” (1983, Verso Books), konsep komunitas imajiner sering kali dibentuk melalui interaksi sosial yang berulang di ruang-ruang tertentu. Kedai kopi ini, dengan semua dinamika percakapannya, bisa dilihat sebagai komunitas imajiner yang mempersatukan para pencari keadilan dan kebenaran, meski kadang mereka tersesat dalam kebingungan dan ironi politik. Di sinilah para pelanggan menganyam cerita, mengukir harapan, dan menggali makna dalam setiap tegukan kopi mereka, seperti seorang penyair yang mencoba menemukan kata-kata yang tepat untuk menggambarkan absurditas di sekitarnya.

Di pojok ruangan, seorang pemuda dengan topi lusuh yang dipenuhi emblem politik menambah, “Kalian tahu Bahlil? Ah, dia itu seperti majikannya, ‘Si Raja Jawa’, yang baru belajar menyeduh kopi. Ah, dia memang tak suka kopi, hanya wedang jahe, lagipula dia bukan barista, melainkan tukang kayu. Selalu ada drama dalam setiap ‘adukannya’, kadang mengocok kopi, kadang mengocok hati kita. Katanya, ekonomi ini seperti secangkir kopi susu: campuran antara kapitalis dan rakyat jelata. Tapi lihatlah, susu yang kita terima hanya beberapa tetes, sementara kopi pahit itu tumpah ruah.”

“Bahlil tak suka kopi, kawan. Dia lebih suka minum wiski yang harganya Rp38 jutaan!” celetuk seorang temannya.

Tawa pecah seperti gelombang yang menerjang pantai. Bahlil menjadi bahan tertawaan favorit di kedai ini.

“Bahlil dan si ‘Raja Jawa’ itu,” lanjut seorang pria tua dengan janggut beruban, “mereka seperti penikmat kopi yang sudah kehilangan rasa. Mereka terus memesan kopi dengan takaran yang sama, berharap rasanya berubah. Lucu, bukan?”

Di tengah pembicaraan, seorang perempuan muda dengan rambut sebahu menyahut dengan nada satire, “Ah, jika Bahlil menanggung beban berat, maka ia menenggak wiski super mahal. Beda dengan kita yang cukup ngopi saja, namun tetap menjadi manusia merdeka, termasuk merdeka dari kekangan si ‘Raja Jawa’. Bahlil mungkin mengira dirinya seorang ketua parpol yang terhormat, tapi kita lebih tahu, kopi kita cukup untuk menjaga kewarasan dan merawat harapan.”

Di sela tawa yang membahana, seorang pria dengan kemeja lusuh yang duduk di dekat jendela menyentil topik lain yang membuat semua telinga mendengarkan. “Oh ya jauh sebelum gaduh demo menolak revisi UU Pilkada 2024, PKS batal mengusung Anies Baswedan di Pilgub Jakarta. Ada apa dengan Putusan MK yang terlambat ini? Ada yang tahu Keputusan MK ditetapkan tanggal berapa tapi diumumkan kapan? Ataukah memang MK mau ‘cuci tangan’ pasca sengketa Pilpres 2024 agar bisa menjadi pahlawan? Jangan-jangan MK sebenarnya bagian dari konspirasi untuk memisahkan Anies dengan PKS? Apakah ini hasil dari permainan kursi musik, di mana yang terakhir duduk menang, sementara yang lain jatuh tersungkur di lantai?”

Suasana berubah menjadi lebih serius, meskipun secangkir kopi tetap menghangatkan tangan dan pikiran mereka yang mencoba mengurai benang kusut dari drama politik ini.

Ada benarnya, di kedai kopi ini, politik bukanlah sekadar pembicaraan, melainkan bahan baku utama yang dihidangkan setiap hari. Para pelanggan datang dengan harapan akan diskusi yang membuahkan perubahan, namun seringkali pulang dengan rasa pahit yang tersisa di lidah.

Seorang mahasiswa dengan kaus bergambar Che Guevara yang sudah luntur berkata, “Putusan MK, Bahlil, si ‘Raja Jawa’ bahkan sepotong roti yang dimakan menantunya yang seharga Rp400 ribu—mereka semua ini seperti trik sulap di atas panggung. Satu menit kita terkagum-kagum, menit berikutnya kita sadar, kita sudah kena tipu.”

Kopi di kedai ini seperti cermin kecil dari dunia politik yang lebih besar. Seperti yang dicatat oleh Michel Foucault dalam bukunya “Discipline and Punish: The Birth of the Prison” (1977, Pantheon Books), kekuasaan bukanlah sesuatu yang dimiliki oleh segelintir orang, melainkan sesuatu yang dipraktikkan dan terdistribusi di antara berbagai aktor.

Malam semakin larut, dan kedai kopi ini semakin penuh. Mereka yang datang untuk mencari jawaban sering kali menemukan diri mereka terjebak dalam labirin pertanyaan. Di sudut lain, seorang pria dengan mata sayu memandang cangkirnya yang kosong. “Politik kita ini seperti kopi yang diseduh dengan air bekas cucian,” katanya perlahan. “Selalu ada rasa pahit yang tak wajar, tapi kita tetap meminumnya, berharap besok baristanya berganti, berharap Putusan MK tak lagi seperti permainan kartu di malam judi.”

Di luar kedai, malam terus berlanjut seperti cerita yang tak pernah selesai. Si ‘Raja Jawa’ mungkin tengah merencanakan manuver politik baru di istana, dan Bahlil mungkin sedang menulis pidato baru yang lagi-lagi akan memukau, mengecoh, atau membuat kita semua tertawa getir di kedai ini. Tapi apa pun yang terjadi, kopi akan tetap diseduh, cangkir akan tetap diisi, dan para pengunjung akan tetap datang, tertawa di tengah badai, karena di negeri yang penuh sandiwara ini, satu-satunya yang pasti adalah kopi pahit yang selalu tersisa di akhir.

Menurut Pierre Bourdieu dalam bukunya “Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste” (1984, Harvard University Press), ruang-ruang sosial seperti kedai kopi ini berfungsi sebagai arena di mana selera dan preferensi budaya dipertaruhkan dan dinegosiasikan. Di kedai kopi ini, bukan hanya kopi yang diracik dan dinikmati, tetapi juga ideologi dan keyakinan. Setiap pelanggan datang dengan preferensi rasa mereka sendiri, baik dalam hal kopi maupun politik. Mereka membawa serta preferensi kelas, budaya, dan politik yang membentuk cara mereka melihat dunia dan menilai peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitar mereka.

Di luar, lampu-lampu jalan mulai meredup, dan kegelapan malam semakin pekat. Kedai kopi ini adalah mercusuar kecil di tengah gelap, tempat para pencari keadilan dan kebenaran berkumpul, meski kadang-kadang mereka lebih mirip bajak laut yang mencari harta karun di tengah lautan kebohongan. Tapi itulah esensi dari kedai kopi ini—sebuah ruang di mana segala sesuatu bisa dibicarakan, di mana kebenaran dan kebohongan berdansa bersama dalam irama yang sama, dan di mana setiap tegukan kopi adalah langkah menuju pencerahan, meski pencerahan itu sering kali terasa lebih seperti bayangan yang cepat berlalu.

Dalam buku “Café Society: Time, Place, and Desire in the Modern City” karya Barney Warf (2007, Routledge), kedai kopi digambarkan sebagai tempat yang memfasilitasi dialog antara yang rasional dan yang emosional, antara yang serius dan yang main-main. Kedai kopi di tengah kota ini tidak jauh berbeda. Di sinilah, percakapan tentang Putusan MK dan nasib Bahlil berganti-ganti dengan obrolan ringan tentang resep kopi terbaik dan kisah cinta yang belum tersampaikan. Kedai ini adalah laboratorium sosial, tempat eksperimen ide dan perasaan dilakukan setiap hari, di mana setiap pelanggan adalah ilmuwan dan sekaligus kelinci percobaan.

Kedai kopi adalah tempat di mana absurditas politik diseduh bersama dengan harapan yang nyaris padam, dan di sinilah juga tempat di mana si ‘Raja Jawa’ dan Bahlil menjadi tokoh utama dalam sandiwara yang terus berlanjut. Setiap hari adalah babak baru, setiap cangkir adalah metafora, dan setiap percakapan adalah upaya untuk memahami dunia yang semakin hari semakin sulit dipahami.

Erich Fromm dalam bukunya “Escape from Freedom” (1941, Farrar & Rinehart) berbicara tentang paradoks kebebasan—bagaimana manusia selalu mencari kebebasan tetapi sering kali takut akan konsekuensinya. Di kedai kopi ini, paradoks itu tampak jelas. Para pengunjung berbicara tentang kebebasan dan keadilan, tapi sering kali mereka sendiri terjebak dalam labirin ketakutan dan keraguan. Namun, mereka tetap datang, tetap nongkrong, tetap berharap, karena di dunia yang penuh dengan ketidakpastian ini, cangkir kopi yang pahit adalah satu-satunya kepastian yang bisa mereka pegang.

Dan begitulah, malam terus berlanjut, kedai kopi tetap buka, dan si ‘Raja Jawa’ serta Bahlil tetap memainkan peran mereka di panggung politik. Di tengah semua ini, para pelanggan terus mencari kehangatan dalam cangkir kopi mereka, mencari makna dalam kata-kata yang mereka ucapkan, dan mencari keadilan dalam setiap keputusan yang dibuat, meski mereka tahu, secangkir kopi tak pernah cukup untuk mengubah dunia. Namun, setidaknya, itu bisa membantu mereka tetap terjaga dalam kegelapan malam yang panjang.***

By Alfian Nawawi

Owner Kedai Kopi Litera

One thought on “Ngopi manusia merdeka versus Bahlil dan wiskinya, Si Raja Jawa, Putusan MK, dan Pilkada 2024”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *