KedaiKopiLitera.Com – Bang Nirwan yang lulusan Teknik Nuklir UGM, saya bayangkan dirinya serupa nukleus, atau inti sel. Dia adalah organel terbesar dalam sel yang mengatur aktivitas sel-sel lainnya. Nukleus mengandung DNA, bahan herediter sel, dan nukleolus. Nukleus dikelilingi oleh membran yang disebut selubung nukleus, yang melindungi DNA dan memisahkan nukleus dari bagian sel lainnya. Dia nukleus dalam gerakan literasi di Nusantara, saat saya mulai malas menggunakan istilah ‘Indonesia’.
Peta pemikiran Bang Nirwan dalam gerakan literasi selalu mengingatkan saya pada pemikiran Paulo Freire, yang dalam bukunya “Pedagogy of the Oppressed” menyatakan bahwa literasi adalah alat untuk membebaskan diri dari penindasan. Seperti Freire, Nirwan percaya bahwa membaca dan menulis adalah tindakan revolusioner yang membuka jalan menuju pemahaman dan pemberdayaan diri
Jika tak mengenal Nirwan Ahmad Arsuka, kemungkinan besar Anda tidak pernah menemukan postingan dan berita mengenai Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo yang menulis dan menyatakan kenangan mereka terhadap Presiden Pustaka Bergerak itu setelah terdengar kabar ia meninggal dunia.
Bahkan Anies Baswedan dalam postingannya di Twitter mengunggah sebuah foto lama, sebuah momen saat bersama Nirwan dan puluhan mahasiswa lainnya berdemo pada suatu waktu. Anies Baswedan, mengenang Nirwan yang sudah dia kenal sejak mahasiswa di Universitas Gadjah Mada (UGM), berkata, “Nirwan Ahmad Arsuka. Pemikir dan aktivis asal Makassar ini kuliah di Teknik Nuklir UGM. Jurusannya Nuklir, tapi buku-bukunya filsafat, budaya, sosiologi, dan lain-lain.”
Pada 6 Agustus 2023 malam, Nirwan ditemukan meninggal karena sakit di sebuah apartemen di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Kabar duka ini menggetarkan hati mereka yang mengenalnya. Dia dikebumikan di kampung halamannya di Barru, meninggalkan jejak yang tak terhapuskan dalam sejarah literasi Indonesia.
Pertemuan di Semesta Kopi
Pertama kali saya bertemu dengan founder Pustaka Bergerak Indonesia itu pada sebuah malam hangat , 11 November 2017. Bang Nirwan baru saja usai menyambangi beberapa tempat wisata di Bulukumba seharian. Ia enjelajahi eksotisme Pantai Pasir Putih Bira dan menyelam di laut birunya. Berbincang dengan para pengrajin perahu pinisi di Bontobahari, lalu menyusuri Ilalang Embayya. Kami mengajak Bang Nirwan ngopi di salah satu kafe, berhubung ada acara istimewa sebentar lagi. Bang Nirwan, seingat saya, saat itu memesan segelas kopi hitam tanpa gula.
Di pelataran Radio Cempaka Asri 102.5 FM Bulukumba, saya dan kawan-kawan, Basmawati Haris dari Rumah Baca Pinisi Nusantara 1986 dan Muhammad Akbar dari Kucang Pustaka, berhasil ‘menyandera’ Bang Nirwan dalam talkshow yang membincang gerakan literasi bertajuk “Membudayakan Dunia Sadar Literasi,” Kopi disajikan, membasahi lidah dan menyalakan pikiran.
Bagai magma, perjalanan sebagai Presiden Pustaka Bergerak Indonesia di berbagai daerah telah dan akan terus menyisakan dampak besar. Seperti halnya di Bulukumba. dia disambut hangat di mana-mana. Suara Bang Nirwan didengarkan ribuan masyarakat Bulukumba melalui tiga stasiun radio sekaligus. PT. Radio Cempaka Asri 102,5 FM, radio komunitas Lereng 104,1 FM (radio literasi di Bulukumba) dan Duta 98,7 FM. Sang Presiden PBI berbagi ilmu, pengalaman, motivasi dan inspirasi dengan pendengar dan 50-an pegiat literasi yang memadati halaman studio RCA malam itu.
Narasumber tuan rumah, Wakil Bupati Bulukumba saat itu, Tomy Satria Yulianto, sangat mengapresiasi diskusi itu. “Lampu Hijau” dari Pemkab Bulukumba melalui pejabat yang juga penulis ini berupa kesiapan pemerintah daerah bersinergi dengan para pegiat literasi Bulukumba merumuskan formula terbaik dan mengaplikasikannya untuk “Bulukumba Kabupaten Literasi”.
Talkshow Bincang Literasi malam itu diinisiasi oleh Pustaka Rumput, Dihyah PROject, Kucang Pustaka, Rumah Baca Pinisi Nusantara 1986, dan Lereng FM.
Nirwan mengurai benang kusut literasi dengan keahlian seorang esais yang tangannya telah mahir menjahit kata. Dalam setiap kata yang keluar dari bibirnya, terselip harapan dan impian tentang dunia yang lebih sadar akan pentingnya membaca dan menulis. Buku, baginya, adalah jendela dunia, dan melalui gerakan literasi, ia mengundang semua untuk mengintip ke dalamnya, melihat keajaiban yang tersembunyi di setiap halaman. Dan pustaka adalah kata kerja, menurutnya. Jadi buku memang bukan hanya untuk dipajang melainkan bergerak menemui pembacanya.
Dalam kenangan lainnya, Nirwan Ahmad Arsuka adalah seorang esais dengan tulisan bernas dan luar biasa. Meskipun ia lulusan jurusan Teknik Nuklir, kecintaannya pada budaya, seni, sastra, dan filsafat menjadikannya sosok yang unik dan berpengaruh dalam dunia literasi.
Setiap pertemuan dengan Nirwan adalah perjalanan puitik di antara buku-buku dan kopi. Setiap tegukan kopi dan setiap halaman buku adalah langkah kecil menuju pencerahan. Dalam setiap pertemuan, ia mengajarkan bahwa literasi adalah jantung dari peradaban, dan gerakan literasi adalah denyut nadinya.
Pada pertemuan kedua, di Jambore Pustaka Bergerak se-Sulselbar di Aose Turatea dan Lembah Hijau Rumbia Jeneponto pada 23-25 Desember 2017, Nirwan hadir kembali sebagai cahaya penuntun. Di antara deretan pohon hijau yang menyegarkan dan udara yang bersih, diskusi-diskusi literasi berlanjut penuh gairah. Nirwan, dengan kehadirannya yang hangat membangun jembatan antara pengetahuan dan masyarakat. Kopi kembali menjadi teman setia, menyatukan para peserta dalam percakapan mendalam tentang buku dan gerakan literasi. Di malam itulah, saya mempresentasikan pertama kali konsep Gerakan Pojok Baca 137 yang digodok komunitas literasi kami, Dihyah PROject. Bang Nirwan sangat setuju dan mendukung penuh. Gerakan Pojok Baca 137 adalah sebuah gerakan “merintis lalu meninggalkan”. Maksudnya, merintis dan mendirikan pojok baca di mana-mana lalu memberikan keleluasaan bagi para pengelolanya untuk bergerak sendiri tanpa harus dikomandoi segala macam. Mereka akan diseleksi oleh alam. Jika berlanjut maka mereka pegiat literasi sungguhan. Jika tidak maka hanya sekadar iseng.
Bersama Bang Nirwan, dalam setiap diskusi serius, humor juga menyelinap masuk seperti senyum yang tak terduga. Nirwan sering kali melontarkan lelucon yang membuat kita tertawa, seolah-olah ia tahu bahwa tawa adalah bumbu yang menyempurnakan setiap percakapan. Ia mengutip Mark Twain, yang pernah berkata, “Kopi adalah minuman yang begitu baik hingga mengurangi dosa-dosa kecil manusia.” Dengan humor, Nirwan mencairkan suasana, membuat gerakan literasi terasa lebih ringan.
Nirwan Ahmad Arsuka adalah salah satu nyawa terbesar dari gerakan literasi di Indonesia. Melalui jaringan Pustaka Bergerak Indonesia, ia memicu solidaritas sosial untuk berbagi pengetahuan dan buku hingga ke pelosok daerah. Nirwan adalah obor yang menerangi jalan literasi, menginspirasi ribuan simpul gerakan akar rumput yang tersebar di seluruh pelosok Indonesia. Ia membawa cahaya pengetahuan, mengusir kegelapan ketidaktahuan.
Kepergian Nirwan meninggalkan lubang besar dalam gerakan literasi. Namun, semangatnya terus hidup melalui ribuan simpul gerakan Pustaka Bergerak Indonesia yang ia inspirasi. Setiap buku yang dibagikan, setiap diskusi yang diadakan, setiap kopi yang diminum dalam pertemuan literasi, adalah perwujudan dari semangat Nirwan. Ia telah mewariskan warisan yang tak ternilai, sebuah gerakan yang akan terus berkembang, melintasi batas ruang dan waktu.
Sebelum kepergiannya, saya sempat berbincang dengan Nirwan melalui WhatsApp. Dalam percakapan itu, ia mengungkapkan keinginannya untuk ngopi di Kedai Kopi Litera. Namun, sayangnya, ia tidak sempat merealisasikan keinginannya itu. Kedai Kopi Litera, dengan suasana hangat dan aroma kopi yang khas, adalah tempat yang tepat untuk diskusi-diskusi literasi yang mendalam—tempat di mana pemikiran dan pengalaman Nirwan tentang gerakan literasi bisa diulik lebih jauh. Sayangnya, takdir berkata lain.
Semesta Manusia
Memahami pemikiran Nirwan Ahmad Arauka, ada baiknya kita membaca buku kumpukan esainya yang berjudul “Semesta Manusia”. Judulnya diambil dari salah satu esainya yang berjudul sama. Ia membawa kita pada sebuah perjalanan intelektual yang menyingkap hubungan antara ilmu pengetahuan, teknologi, dan evolusi kesadaran manusia. Dengan gaya penulisan yang puitik dan kaya metafora, Nirwan menggali kedalaman pemikiran tentang bagaimana perjumpaan dengan ilmu dan teknologi memicu revolusi yang membentuk era baru, mengubah cara pandang manusia terhadap dunia dan dirinya sendiri.
Nirwan membuka esainya dengan merujuk pada salah satu karya besar dalam sastra Indonesia, yaitu “Bumi Manusia” karya Pramoedya Ananta Toer. Dalam novel ini, tokoh utama, Minke, merasakan keajaiban ilmu pengetahuan yang mengubah hidupnya secara dramatis. “Ilmu pengetahuan telah memberikan padaku suatu restu yang tiada terhingga indahnya,” kata Minke. Nirwan menggunakan kutipan ini sebagai titik tolak untuk menjelajahi bagaimana ilmu pengetahuan membawa restu dan transformasi bagi individu dan masyarakat.
Dengan elegan, Nirwan menyusuri benang merah antara pengetahuan dan modernitas, mencatat bahwa pencapaian-pencapaian besar nalar dari Eropa telah menggelumbang dan membiak dalam pikiran Minke seperti bakteria. Satu kata ajaib yang diambil Minke dari nalar Eropa adalah “Modern!” Kata ini tidak hanya mengubah jalan hidup Minke tetapi juga menciptakan gelombang perubahan di benua dan sekitarnya. Modernitas, dalam pandangan Nirwan, adalah sebuah kekuatan transformatif yang mempengaruhi waktu dan ruang, serta membentuk sejarah manusia.
Dalam analisisnya, Nirwan menyajikan catatan sebagai wujud strategi manusia untuk memanusiawikan waktu yang tak terbendung. Dengan mencatat, manusia membangun waktu antropologis yang berbeda tetapi tetap berkait dengan waktu kosmis. Seperti pulau yang terpisah dari benuanya, catatan memungkinkan manusia menyelamatkan masa lalu dan membentuk sejarah. Nirwan mengaitkan konsep ini dengan pencapaian teknologi seperti kawat telegraf dan rel kereta api yang menghilangkan jarak dan menghubungkan dunia. Penaklukan waktu dan ruang ini adalah buah dari internalisasi modernitas.
Nirwan kemudian mengangkat gagasan die Achsenzeit (sumbu sejarah) yang diutarakan oleh Alfred Weber. Ia mencatat bagaimana penyebaran pemakaian kuda sebagai hewan pacu dan penarik kereta mengubah perkembangan kehidupan pikiran dan rohani manusia di sekitar abad ke-5 SM. Dalam kurun waktu ini, muncul para pemikir besar seperti Khong Hu Cu, Sidharta Gautama, dan Socrates yang ide-idenya masih berpengaruh hingga saat ini. Nirwan menggambarkan bagaimana modernitas dengan ilmu dan teknologinya menciptakan lompatan besar dalam perkembangan sejarah manusia, seperti halnya kuda pada zamannya.
Namun, Nirwan juga menyadari ambiguitas modernitas. Di satu sisi, ilmu dan teknologi memfasilitasi kolonialisme, tetapi di sisi lain, mereka juga mendorong rasionalisasi dan membidani kelahiran nasionalisme. Minke, melalui pemahaman ilmu pengetahuannya, merintis era baru di mana para inlander bergerak mengubah bumi menjadi Bumi Manusia, tanah air yang berdaulat dan sejajar dengan bangsa-bangsa lain. Nirwan menunjukkan bagaimana pencapaian ilmu pengetahuan pada simpang abad ke-19 dan ke-20 memungkinkan revolusi yang mengubah tatanan dunia, membuka jalan bagi Indonesia Merdeka.
Pada bagian kedua esainya, Nirwan membawa kita ke era modern dengan membahas proyek pemetaan gen manusia yang diumumkan pada 26 Juni 2000. Ia melihat proyek ini sebagai kemenangan besar teknologi pada abad ke-21, membuka peluang bagi manusia untuk mengambil alih kendali evolusi dari tangan alam. Peta gen ini, yang terdiri dari 3 miliar abjad kimiawi, menerangi kesinambungan segenap makhluk hidup di Bumi, menunjukkan persaudaraan genomik antara spesies manusia dengan makhluk lainnya.
Nirwan menggambarkan proyek genom sebagai langkah awal dalam kehidupan post-Darwinian, di mana seleksi alam tak lagi menjadi faktor dominan evolusi. Ia mencatat bahwa proyek ini memungkinkan manusia melampaui batas eksistensi biologis, dengan potensi untuk mengatasi maut dan memperpanjang hidup. Dalam pandangannya, manusia dapat memilih untuk mati karena merasa cukup dengan dunia, atau bahkan meminta dihidupkan kembali untuk mengejar kebahagiaan yang tidak mungkin ditampung dalam satu kehidupan.
Dalam konteks yang lebih luas, Nirwan menggambarkan bagaimana proyek genom dan terobosan-terobosan lain di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi mengubah peta pertarungan purba antara kenyataan pembusukan daging tubuh dan perjalanan panjang manusia menuju tubuh yang tak terinfeksi waktu dan peluruhan biologis. Ia meramalkan bahwa penguasaan bahasa Tuhan—DNA—akan memberi manusia kekuatan untuk memenangkan pertarungan panjang tersebut dan mengubah peradaban lebih hebat dari penemuan roda, mesiu, dan mesin cetak Gutenberg.
Namun, Nirwan juga menyadari tantangan yang dihadapi oleh proyek genom. Tahapan assembling dan anotasi jauh lebih sulit dan memakan waktu dibandingkan sekuesing. Ilmu pengetahuan adalah biorganisme raksasa yang makanan satu-satunya adalah problem, dan dalam pergerakannya meneruskan hidup, ia mengangkat manusia naik membentuk sejarah. Menyusun peta gen adalah upaya manusia untuk menguasai bahasa Tuhan, jalan nyata untuk menjadi Tuhan.
Nirwan mengakhiri esainya dengan refleksi mendalam tentang kosmologi dan penciptaan semesta. Ia mengajukan gagasan bahwa teori-teori kosmik pada awal alaf ke-3 menuntut kecerdasan untuk menciptakan sendiri alam semesta sebagai sarana uji kekuatan teori-teori tersebut. Model kosmos mutakhir seperti usulan nir-batas Hawking dan kosmos fraktal Andrei Linde adalah koreksi atas teori Big Bang, menawarkan narasi penciptaan yang berbeda dari agama-agama besar.
Nirwan merangkum pandangan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi memberi manusia kesempatan untuk bermain sebagai pencipta di tengah semesta. Kebudayaan dan peradaban berkembang karena manusia memberi makna pada apa yang tak punya makna, menciptakan semesta kognitif yang menakjubkan. Manusia, dengan segala keterbatasan dan potensinya, adalah makhluk yang sanggup mengeram cakrawala dari segenap alaf sebelum dan sesudah dirinya, bergerak menggemakan bahwa yang tak terangkum kata memang mengeram cinta yang tak terhingga, cinta yang bahkan para rasul dan orang suci mungkin tak pernah sanggup membayangkannya.
Esai Nirwan Ahmad Arauka, “Semesta Manusia,” adalah eksplorasi mendalam tentang peran ilmu pengetahuan dan teknologi dalam membentuk kesadaran manusia. Dengan gaya penulisan yang puitik dan analisis yang tajam, Nirwan mengajak kita untuk merenungkan hubungan kita dengan pengetahuan dan bagaimana hal itu membentuk dunia dan diri kita. Melalui pemikiran yang mendalam dan kaya akan metafora, ia menunjukkan bahwa literasi bukan sekadar membaca dan menulis, tetapi memahami dan berbagi, membangun jembatan pengetahuan yang tak terputus..***