KedaiKopiLitera.Com – Bayangkan, jika sejarah Indonesia ditulis ulang dengan sejumput humor dan ironi, kopi pastilah menjadi aktor utamanya. Dari era Sukarno hingga hari ini, apa yang lebih cocok untuk menemani panggung politik kita selain secangkir kopi dan sarkasme yang pahit? Dengan gaya ngopi sedikit ekspresionis, meletakkan secangkir kopi di atas buku terbuka – rada mirip logo Kedai Kopi Litera – dengan latar belakang sawah yang hijau, misalnya, sulit berbohong terhadap realita jika meneguk pula rasa ‘politik kita hari ini’.

Sejarah kopi di Indonesia adalah sebuah epik kolonialisme. Bayangkan diri Anda menyeruput kopi tubruk di pagi hari sambil merenungkan Sukarno dan politik saat ini—ini adalah ironi manis, seperti gula aren yang larut di dasar gelas. Kopi, yang dulu ditanam paksa oleh Belanda di tanah Jawa, kini menjadi lambang nasionalisme. Mirip dengan cara Sukarno memaknai perjuangan melawan kolonialisme. Jika kopi bisa berbicara, mungkin ia akan mengutip George Orwell, “War is peace. Freedom is slavery. Ignorance is strength.” Dalam setiap tegukannya, kopi mengajarkan kita bahwa kenikmatan bisa tumbuh dari penderitaan, layaknya harapan di tengah krisis politik.

Bagi Sukarno, politik adalah seni, sama halnya dengan menyeduh kopi. Anda harus tahu kapan menuangkan air panas, berapa lama menunggu, dan kapan waktu yang tepat untuk menambahkan gula. Namun, di zaman sekarang, politik kita lebih mirip kopi instan: cepat, praktis, dan sering kali meninggalkan rasa pahit yang tak diinginkan. Seperti kata Goenawan Mohammad dalam salah satu esainya bahwa “Politik itu teater,” dan dalam teater ini, kopi adalah properti yang tak pernah absen dari panggung.

Di era Sukarno, perjuangan melawan imperialisme seperti biji kopi yang tumbuh di tanah subur. Ide-ide revolusioner Sukarno juga tumbuh dari semangat nasionalisme yang membara. “Indonesia menggugat!” teriaknya, mungkin sambil menyesap kopi di antara jeda pidatonya yang berapi-api. Literasi sejarah mencatat bagaimana Sukarno sering berbicara tentang pentingnya kemandirian ekonomi, dan kopi adalah salah satu simbol utamanya.

Bayangkan Sukarno mengajak tamu asingnya menikmati kopi Indonesia sambil berdiskusi tentang masa depan bangsa. Di balik diplomasi canggih, ada secangkir kopi yang menemani diskusi hangat tentang arah politik negeri ini. Tak heran, kopi menjadi minuman nasional yang mengikat kita semua dalam kenangan kolektif tentang masa-masa penuh harapan dan idealisme.

Lantas bagaimana politik hari ini? Ironisnya, politik kita lebih mirip kopi sachet yang dijual di minimarket. Mudah dibuat, penuh dengan aditif, dan sering kali meninggalkan aftertaste yang meragukan. Mungkin itulah yang dimaksud pengamat politik ketika menulis tentang ‘politik praktis’. Politik saat ini kehilangan aroma asli dari biji kopi yang ditumbuk dengan penuh cinta dan harapan.

Perhatikan bagaimana politisi kita berbicara tentang kemandirian ekonomi sambil menyeruput kopi Starbucks, sebuah paradoks yang terlalu absurd untuk tidak disebutkan. Mereka berpidato tentang ‘revolusi mental’ dengan gaya seolah-olah baru saja meniru menu dari kafe hipster terbaru. Di balik kemasan rapi dan janji-janji manis, yang sering kita dapatkan hanyalah ‘kopi instan’ dalam bentuk kebijakan setengah matang yang dibumbui dengan korupsi dan nepotisme.

Kopi, dalam konteks itu, bukan hanya minuman tetapi juga perwujudan dari cita-cita Sukarno tentang kemandirian dan identitas nasional. Namun hari ini, kopi sering kali menjadi simbol dari konsumerisme berlebihan. Politisi kita lebih suka membicarakan pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh konsumsi, alih-alih produksi yang mandiri.

Di tengah keriuhan politik yang memusingkan, ada satu hal yang tak berubah: kopi tetap menjadi pelipur lara. Di saat skandal demi skandal menghantam, dari kasus korupsi yang tak kunjung selesai hingga pertikaian politik yang tak pernah reda, secangkir kopi di pagi hari masih bisa memberi sedikit ketenangan. Mungkin, di balik ironi ini, kita bisa menemukan secercah harapan bahwa meski politik bisa berubah menjadi sangat kotor, ada hal-hal kecil seperti kopi yang tetap bisa kita nikmati dengan sederhana.

Di balik kompleksitas politik, ada keindahan dalam hal-hal sederhana. Kopi adalah salah satunya. Ketika kita menikmati kopi, kita tidak hanya merasakan kenikmatan dari rasanya tetapi juga mengingat sejarah panjang dan perjuangan yang terkandung di dalamnya.

Kembali ke masa Sukarno, politik adalah sebuah seni, sebuah pertunjukan yang membutuhkan kefasihan dalam berpidato dan kemampuan untuk memikat hati rakyat. Sukarno adalah maestro di panggung itu, dan kopi adalah bagian dari alat musiknya. Di setiap pidatonya, ada kekuatan yang menggugah semangat, menggerakkan hati, dan memberi harapan. Namun, hari ini, politisi kita lebih mirip dengan pemain drama yang buruk, yang lebih mementingkan citra daripada isi. Mereka menyajikan kopi yang sama setiap hari, tetapi rasanya semakin hambar.

Sambil menyeruput secangkir kopi di pagi hari, teguklah juga sesekali ingatan bahwa meskipun politik kita hari ini sering kali mengecewakan, selalu ada harapan di balik setiap tetes kopi. Karena kita membutuhkan sesuatu yang lebih dari sekadar hitam dan putih. Kita membutuhkan rasa. Dan kopi, seperti halnya politik, adalah tentang menemukan rasa itu di tengah kompleksitas hidup yang terus berubah.***

By Alfian Nawawi

Owner Kedai Kopi Litera

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *