Bayangkan jika ada seorang pelanggan kedai kopi yang setiap hari datang dengan pesanan yang berbeda, namun tetap rumit. Suatu kali, dia meminta “double shot Vietnam Drip, sedikit susu almond, setengah sendok gula kelapa, dan sejumput kayu manis, tapi kayu manisnya harus diayak dulu.”

Esok harinya, dia datang dengan pesanan baru, “kopi dengan susu oat, foamnya harus pas 2 cm, taburan cokelat harus berbentuk senyuman.” Barista sudah hafal wajahnya, dan setiap kali dia datang, pandangan penuh arti, berharap bukan gilirannya yang melayani.

Pelanggan adalah ‘jemaah’ yang beraneka ragam. Ada yang datang hanya untuk mengisi daya ponsel mereka sambil memesan air putih, ada yang betah berjam-jam hanya dengan satu cangkir kopi. Ada yang hanya sekadar untuk menikmati layanan internet. Jangan lupakan juga pelanggan yang memesan minuman dengan spesifikasi yang lebih rumit daripada rumus matematika tingkat tinggi.

Kopi, minuman hitam pekat yang telah merebut hati banyak orang di seluruh dunia, seakan menjadi sebuah ‘agama baru’. Setiap hari, di seluruh dunia, jutaan bahkan milyaran orang ke kedai kopi favoritnya masing-masing, dengan harapan secangkir kopi akan menyelamatkan hari mereka. Namun, di balik aroma harum dan rasa pahit yang menggugah, tersimpan berbagai kisah lucu.

Coba bayangkan, jika tiba-tiba kopi hilang dari muka bumi. Karyawan kantoran akan datang ke kantor dengan mata setengah terbuka, mahasiswa akan tertidur di tengah-tengah presentasi, dan para orang tua akan kehabisan tenaga mengejar anak-anak mereka yang berlarian di sekitar rumah. Dunia akan berantakan, dan kita akan segera menyadari bahwa kopi adalah perekat yang menjaga segala sesuatunya tetap berjalan.

Menyulap Kita Menjadi “Produktif”

Minuman ini seolah menjadi bahan bakar utama para pekerja kantoran, mahasiswa, dan hampir semua orang yang merasa hidup mereka terlalu monoton tanpa dorongan kafein. Sebuah kebiasaan pagi yang dianggap sakral, di mana secangkir kopi bisa merubah seseorang dari ‘zombie’ menjadi ‘manusia’.

Apa jadinya jika seorang pekerja yang peminum kopi tetiba tidak menemukan kopi dalam sehari? Percayalah, roda industri bisa jeda sejenak.

Mari kita hadapi kenyataan: banyak dari kita yang tidak bisa memulai hari tanpa kopi. Kopi adalah penyelamat dari segala rasa kantuk dan malas yang membelenggu. Satu tegukan saja, dan kita merasa mampu menaklukkan dunia. Tetapi, bukankah ini hanya ilusi?

Pada akhirnya, kita tetap manusia biasa yang butuh istirahat dan tidur yang cukup. Namun, dengan kopi, kita bisa berpura-pura sejenak bahwa kita lebih kuat dari kenyataan.

Kuil Modern yang Dipenuhi Ritual

Jika kopi adalah agama, maka kedai kopi adalah kuilnya. Di sini, segala jenis manusia berkumpul, dari hipster yang sibuk mengetik di MacBook hingga pebisnis dengan jas rapi yang menunggu orderannya.

Barista, sang imam di kuil kopi modern, adalah sosok yang paling diandalkan. Dengan cekatan, mereka meracik pesanan yang seringkali rumit, seperti “grande iced sugar-free vanilla latte with soy milk and light ice”. Bayangkan, berapa kali barista harus mengulang pesanan tersebut hanya untuk memastikan tidak ada kesalahan sedikit pun. Dan ketika pesanan akhirnya selesai, dengan senyum palsu mereka akan menyerahkan minuman tersebut sambil berharap si pelanggan tidak akan kembali dengan keluhan aneh.

Seorang pelanggan datang dengan pesanan yang sangat rumit. Setelah 10 menit menjelaskan, barista dengan tenang mulai meracik minuman. Namun, saat hendak menyerahkan kopi tersebut, pelanggan tersebut dengan enteng berkata, “Oh, maaf, saya berubah pikiran. Saya mau kopi hitam biasa saja.” Barista hanya bisa tersenyum kecut, sementara antrian di belakang semakin panjang dengan pelanggan yang mulai gelisah.

Ada pula pelanggan yang sok memesan menu kopi yang dia tahu tak ada dalam daftar menu di sebuah kedai kopi. Dia pesan Latte Art! Barista pun tersenyum dan bertanya, “Latte Art yang asli kan?” Pelanggan mengangguk.

Barista pun segera menyelesaikan pesanannya dengan perfect. Alhasil, dalam satu jam, pelanggan itu tak mampu meminumnya dalam tiga teguk. Pahit banget! Harganya pun mahal. Tapi dia tak boleh protes. Dia sial saja ketemu barista yang bisa meracik segala jenis kopi meskipun tak ada di daftar menu. Pelanggan jenis ini masuk kategori pelanggan sok-sokan.

Kopi Instan: Solusi Praktis untuk Pecinta Kafein yang Malas

Untuk mereka yang tidak punya waktu atau energi untuk pergi ke kedai kopi, kopi instan adalah solusi praktis. Cukup tuangkan air panas dan voila, Anda punya secangkir kopi. Tentu saja, rasa dan kualitasnya mungkin tidak sebanding dengan kopi yang disajikan di kedai, tapi siapa peduli? Yang penting kafein masuk ke dalam tubuh dan kita siap menjalani hari yang panjang.

Ada seorang mahasiswa yang terlalu malas untuk membuat kopi instan dengan cara biasa. Alih-alih, dia mencoba metode baru dengan mencampur kopi instan langsung ke dalam mulutnya lalu minum air panas. Hasilnya? Mahasiswa tersebut akhirnya berlari ke kamar mandi dengan mulut penuh bubuk kopi dan air panas yang terlalu panas untuk ditelan. Sejak saat itu, dia tidak pernah lagi mencoba “inovasi” semacam itu.

Kopi dan kedai kopi bukan hanya tentang minuman hitam pekat yang kita konsumsi setiap hari. Mereka adalah bagian dari budaya modern, penuh dengan ritual dan kebiasaan yang lucu dan kadang absurd. Jadi, saat Anda menikmati kopi Anda berikutnya, ingatlah bahwa di balik setiap tegukan, ada kisah humor dan sarkasme yang menemani.

Selamat menikmati kopi Anda, dan jangan lupa, senyumlah kepada barista Anda. Mereka adalah pahlawan tanpa tanda jasa di balik setiap secangkir kopi yang Anda nikmati.***

By Alfian Nawawi

Alfian Nawawi, S.Ikom adalah owner Kedai Kopi Litera. Pendiri komunitas literasi Dihyah PROject dan Pustaka RumPut. Pegiat literasi, penulis buku, esais, cerpenis, penyair, pelukis sketsa, dan jurnalis di Bulukumba, Sulawesi Selatan. Beberapa buku-bukunya yang telah terbit di antaranya "Inspiring Bulukumba" (Mafazamedia, 2014), "Republik Temu-Lawak" (J-Maestro, 2020), antologi seperti "Rumah Putih: Antologi Puisi Serumah" (Ombak, 2013), dan "Wasiat Botinglangi" (Balai Pelestarian Nilai Budaya Provinsi Sulawesi Selatan, 2022).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *