Roland Barthes pernah menggambarkan kopi sebagai “minuman yang mempersatukan dunia dalam diskusi dan debat,”—sebuah alat yang mendorong pikiran menuju pencerahan. Melalui kopi, menurut filsuf, kritikus sastra, dan semolog Prancis yang paling eksplisit itu bahwa halaman-halaman buku terbuka lebih luas, dan diskusi menjadi semakin mendalam.
Karena kopi bukan semata racikan yang menyeruak aromanya, namun juga tautan yang memperjalin kisah antara buruh, penguasa, dunia akademis, hingga lapangan sepak bola, maka mungkin hanya sedikit yang terhenyak saat mengetahui kopi begitu penting di balik kisah-kisah Hari Buruh, Hari Pendidikan Nasional, dan euforia sepak bola semisal Piala Asia U23 yang menyaksikan kebangkitan Garuda Muda.
Di perkebunan kopi, di mana alam dan manusia bertemu, buruh kopi merajut hari. Mereka adalah pahlawan tak bernama yang menjadikan kopi sebagai teman sepi dan saksi bisu atas jerih payah mereka.
Paolo Freire, dalam bukunya “Pedagogy of the Oppressed”, menyimbolkan kopi sebagai “biji perlawanan yang tumbuh dari tanah kesadaran.” Di setiap Hari Buruh setiap 1 Mei, para peminum kopi semestinya diingatkan untuk menghargai dan mengakui kontribusi mereka yang menjadikan kopi sebagai jembatan global dari ladang hingga meja kita.
Kopi sering kali menjadi saksi bisu atas keputusan besar di ruang-ruang kekuasaan. Napoleon Bonaparte pernah mengatakan bahwa kopi harus “kuat sebagai hati, hitam sebagai iblis, murni sebagai malaikat, dan manis sebagai cinta.”
Ungkapan ini mencerminkan betapa pentingnya kopi tidak hanya sebagai penenang, tapi juga sebagai alat diplomasi yang menyatukan atau memisahkan penguasa. Di setiap tegukan, ada cerita kekuasaan yang tercipta, menggambarkan kopi sebagai simbol dominasi sekaligus persahabatan.
Saat kita memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) saban tanggal 2 Mei, kita kerap lupa bahwa kopi menjadi teman setia bagi mereka yang terus mengejar ilmu. Menurut Roland Barthes, kopi adalah “teman diskusi yang tidak pernah lelah mendengarkan.” Di universitas dan perpustakaan, kopi menjadi saksi dari malam-malam terjaga, mendorong mahasiswa dan guru untuk terus berpikir dan berinovasi. Di setiap sorot mata yang lelah namun penuh harapan, kopi mungkin juga layak disematkan titel ‘pahlawan tanpa tanda jasa’. Dan jauh di pelosok-pelosok, banyak anak muda berhasil menjadi sarjana karena keringat ayah dan ibu mereka di kebun kopi.
Dalam suasana hangat Piala Asia U23, kopi menjadi bagian dari selebrasi. Kopi menjadi lebih nikmat seusai melihat selebrasi pemain Garuda Muda yang baru saja menceploskan gol ke jala gawangnya. Itu bukan sekadar nasionalisme. Seperti euforia yang meluap di stadion, kopi menghangatkan tangan dan hati para penggemar yang bersorak untuk tim kesayangan.
Kehadiran kopi di tribun penonton atau di ruang ganti pemain, menjadi simbol kebersamaan dan dukungan, menggambarkan bagaimana kopi secara universal dapat menyatukan emosi dan antusiasme dalam kemenangan ataupun kekalahan.
Dari ladang ke lapangan bola, dari ruang kuliah hingga ruang kekuasaan, mungkin tak banyak yang menyadari bahwa kopi menyatukan begitu banyak cerita, sejarah, dan budaya—menyajikan perspektif yang unik tentang bagaimana sebuah minuman bisa menjadi lebih dari sekadar kebiasaan, melainkan sebuah simbol sosial yang kaya dan dinamis.