Satu-satunya riwayat dunia yang gelap pekat namun kita tak pernah bisa sembunyikan adalah secangkir kopi hitam. Meskipun tanpa pemanis apapun. Kopi yang pahit mungkin juga serupa malam yang diam-diam menyimpan fajar sebelum menetaskannya ke Bumi.
Jika pemanis bagi kopi adalah kue jipang dan gula aren, maka tiga perwakilan tradisi gastronomi ini juga bisa memperkaya kita dalam mengeksplorasi kedalaman memori dan budaya.
Di balik tirai subuh, ketika cahaya pertama berbisik di ufuk, sebuah ritus kehidupan bisa saja dimulai dengan secangkir kopi, seiris kue jipang, dan kristal-kristal gula aren.
Pagi yang semacam itu bukan hanya awal dari waktu tetapi awal dari perjalanan yang membebaskan. Seperti kata Proust dalam À la recherche du temps perdu, “Kehidupan sehari-hari yang nyata dan yang kita alami adalah kehidupan yang kita cita-citakan dan yang kita hidupi saat kita bermimpi terjaga” (Marcel Proust, 1913).
Di sini, kita bisa mendekati trio ini sebagai entitas yang kaya dengan nilai historis, kultural, dan ilmiah. Menurut Brillat-Savarin dalam The Physiology of Taste, “Penemuan suatu makanan baru berkontribusi lebih banyak untuk kebahagiaan umat manusia daripada penemuan bintang baru” (Jean Anthelme Brillat-Savarin, 1825).
Kopi, sebagaimana dikisahkan oleh Pendergrast dalam “Uncommon Grounds,” adalah lebih dari sekedar eliksir pagi; ia adalah aliran sungai yang mengairi peradaban manusia, menghubungkan benua dan budaya (Pendergrast, 2000). Pagi demi pagi, ketika alam masih merajut sinar pertamanya, kopi menawarkan janji kebangkitan: secercah cahaya di dalam gelap, sepotong keberanian untuk menghadapi hari.
Kopi, dengan kepekatan warnanya yang seperti malam yang belum terpecahkan, berfungsi sebagai simbol peralihan—dari ketidakjelasan ke kejelasan, dari lelap ke terjaga. Kafein dalam kopi dikenal sebagai stimulan yang mengikat reseptor adenosin dalam otak, menghalangi kelelahan sementara mempertajam kesadaran (Freedman & Hall, 2000).
Kopi, dengan semua kekayaan aroma dan rasanya, adalah seperti ombak yang menggulung kenangan masa lalu ke tepi sadar kita. Pahit, manis, dan kompleks, kopi adalah cerminan dari kehidupan itu sendiri. Filosof Jerman, Heidegger, berbicara tentang konsep ‘Being-toward-death’ yang menggambarkan eksistensi manusia yang berkelanjutan menuju kebenaran tak terelakkan tentang kematian, namun selalu dengan harapan (Martin Heidegger, Being and Time, 1927).
Sementara itu, kue jipang, dengan teksturnya yang renyah dan rasa manis alami, membawa kenangan akan masa-masa sederhana dan penuh canda. Mirip dengan apa yang Wordsworth sebut sebagai “spot of time” di dalam karyanya, di mana kenangan indah mampu mengembalikan kita ke saat-saat bahagia yang murni (William Wordsworth, The Prelude, 1850).
Kita bisa memahaminya saat berada di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, di mana kue jipang adalah salah satu teman karib bagi kopi. Mulai gubuk sederhana di kebun-kebun, rumah warga, hingga kedai kopi.
Bagaimana dengan gula aren? Dengan keasaman manisnya yang khas, adalah simbol dari manis dan pahitnya waktu yang tidak bisa diulang. Kristal-kristal gula adalah seperti detik-detik yang terkristalisasi, setiap satu menceritakan kisah tentang asal-usul, proses, dan destinasi akhir.
Gula aren adalah seperti apa yang Borges gambarkan dalam Ficciones, sebuah labirin waktu dan ruang yang terjalin dalam misteri yang tak terpecahkan (Jorge Luis Borges, 1944).
Gula aren, yang berasal dari nira pohon aren, tidak hanya memberikan manis alami tetapi juga berisi mineral penting seperti potassium, magnesium, dan zat besi (Preedy et al., 2015). Berbeda dengan gula tebu, gula aren memiliki proses produksi yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan, serta berpotensi memberikan manfaat kesehatan, termasuk sebagai alternatif pengganti gula dengan indeks glikemik lebih rendah (Murthy et al., 2016). Sifatnya yang kaya akan mineral dan rendah indeks glikemik membuat gula aren ideal dalam diet seimbang.
Kue jipang, yang dibuat dari beras ketan, tidak hanya lezat tapi juga mengandung makna mendalam dalam tradisi kuliner Nusantara. Beras ketan, sebagai bahan utama, diketahui memiliki indeks glikemik yang lebih rendah dibandingkan dengan beras biasa, yang mungkin berkontribusi pada pengelolaan energi yang lebih berkelanjutan (Higgins, 2004). Dalam banyak masyarakat, kue jipang sering kali hadir dalam perayaan dan upacara adat, simbolisasi dari kemakmuran dan persatuan komunal.
Menyeruput aspek budaya, ilmu pengetahuan, dan kesehatan, maka kopi, kue jipang, dan gula aren tidak hanya datang dari ruang kekayaan kuliner, tetapi juga kekayaan ilmiah dan budaya. Mereka mengajarkan kita bagaimana makanan bisa lebih dari sekadar nutrisi; mereka adalah jembatan antara masa lalu dan masa kini, antara individu dan komunitas, kepuasan fisik dan kekayaan spiritual.
Pertanyaannya adalah: seberapa peduli kita pada petani kopi, petani aren, pembuat kue jipang, dan alam lingkungannya?***