Di sudut ruangan itu, ada secangkir kopi. Pahit dan hangat, layaknya kenangan yang berputar-putar dalam tarian reuni alumni. Yang menjadikan sebuah reuni alumni terlihat kadang aneh hanya bahwa ada yang terlihat semakin tua. Sementara ada pula yang terlihat masih muda. Padahal mereka satu angkatan, satu pergaulan, pun mungkin satu ingatan.

Marcel Proust, dalam novelnya berjudul “In Search of Lost Time“, menitip pesan, “Kita tidak menerima kebijaksanaan; kita harus menemukannya untuk diri kita sendiri, setelah perjalanan yang tidak seorang pun dapat mengambil untuk kita atau menghindari kita.”

Reuni, sejauh ini, disepakati sebagai satu-satunya peristiwa di mana masa lalu dan masa kini bisa saling bertemu. Seperti teater absurd di mana setiap orang adalah aktor dan penonton dalam waktu yang sama.

Sekelilingnya, suara-suara lama kadang membentuk lebih menyerupai saga hingga anime. Lantaran penuaan lebih mendekatkan pada kepikunan ingatan. Kenangan itu ibarat kopi. Dalam cangkir pertama, pahit dan kuat, mereka menyadarkan kita akan kebenaran waktu yang pernah kita jalani.

Persis kata-kata Haruki Murakami dalam novel “Kafka on the Shore“, “Kenangan adalah rumah yang kamu bangun di sebelah rumahmu. Seiring waktu, kau mulai lebih banyak menghabiskan waktu di rumah itu.”

Tapi, seperti kopi, semakin lama diseduh dalam ingatan, kenangan menjadi manis, terdistorsi oleh nostalgia. Ini adalah satir kehidupan, di mana masa lalu sering disesuaikan untuk menggugah rasa nyaman. Virginia Woolf, dalam novel “To the Lighthouse”, menuliskan, “Bagian dari kita tetap di setiap tempat yang pernah kita kunjungi.”

Wajah-wajah Masa Lalu

Di sana, ‘Sang Bintang’ masa sekolah, kini hanya siluet pudar, mengingatkan kita bahwa popularitas adalah kopi yang cepat dingin. F. Scott Fitzgerald, dalam novel “The Great Gatsby”, mengingatkan tentang kefanaan kejayaan, “Terkadang orang hidup dalam ilusi selama bertahun-tahun, tapi akhirnya kenyataan selalu mendapatkan mereka.”

‘Si Kutu Buku’, sekarang bertransformasi menjadi ‘Pengusaha Sukses’, memamerkan kekayaannya, bagai kopi mahal yang disajikan untuk impresi, bukan rasa. Di antara mereka, kopi menjadi metafora hidup; ada yang pahit, ada yang manis, bergantung pada bagaimana kita menyeduhnya.

Reuni adalah panggung di mana realitas dan representasi berlomba. Media sosial telah menjadi saringan kita, tempat kita menyajikan versi terbaik dari kehidupan kita, serupa dengan bagaimana kita menyaring kopi, meninggalkan ampas yang tak ingin diperlihatkan. Dalam reuni ini, setiap tawa dan senyum kadang hanya topeng, satir bagi sebuah dunia yang terobsesi dengan penampilan. Oscar Wilde berkata, “Dunia adalah panggung, tetapi perannya buruk dibagi.”

Namun, di balik satir, ada pencerahan. Melalui cangkir-cangkir kopi, kita belajar menerima perbedaan, menyadari bahwa setiap kenangan memiliki rasa yang unik. Dalam setiap percakapan, ada pengakuan, sebuah proses ‘menyeduh’ kejujuran, mengakui bahwa kita semua adalah campuran dari manis dan pahit. “Pendidikan hati adalah proses rumit,” kata David Foster Wallace, “tapi hal itu mengarah pada pencerahan jiwa.”

Saat reuni berakhir, cangkir-cangkir kopi kosong menandai waktu yang telah dilewati. Seperti kopi, kenangan juga perlu diseduh dengan bijak, diresapi dengan keseimbangan antara manis dan pahit. Reuni, pada akhirnya, adalah tentang mengapresiasi setiap nuansa kehidupan, menerima bahwa setiap momen, manis atau pahit, adalah bagian dari kanvas besar yang kita lukis bersama.***

By Alfian Nawawi

Owner Kedai Kopi Litera

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *