Secangkir kopi bisa berfungsi sebagai ‘alat detektor’ apakah seseorang adalah pembual atau bukan. Namun, harus diingat bahwa seorang pembual adalah ‘serupa kopi’ pada satu sisi.

Bayangkanlah secangkir kopi sebagai kepingan kecil kejujuran di tengah lautan kekacauan politik, pemilu yang brutal dalam kecurangan tak terperikan, dan kehancuran integritas penyelenggara pesta demokrasi.

“Saya lebih percaya pada keajaiban secangkir kopi dibanding satu lembaga besar seperti KPU,” ujar seorang kawan yang pecandu kopi kelas berat.

Rujukannya tentu pada logika dan nalar. Mana ada satu cangkir bisa diisi satu ember kopi? Di Sirekap, di satu TPS bisa berisi 500.000 pemilih. Wajar, si kawan lebih percaya secangkir kopi yang terbukti lebih berintegritas dan kredibel dibanding KPU. Apalagi Sirekap, Situng, hingga ‘SetanG’. Dan akhirnya kita sebagian besar paham, rakyat dipaksa mempercayai dan menerima hasil kecurangan yang sangat brutal itu.

Kopi memang memiliki kekuatan untuk menyatukan orang-orang dari berbagai latar belakang, tetapi dalam kehangatan lingkaran sosial tersebut, seringkali kita menemui sosok yang memanfaatkannya untuk tujuan yang berbeda. Di sinilah perbandingan dengan pembual mulai muncul. Sambil ngopi, karakter asli mereka sering muncul tanpa disadari.

Buku “The Presentation of Self in Everyday Life” yang ditulis Erving Goffman pada 1959, diterbitkan Anchor Books, niscaya bisa menjelaskannya jauh lebih detil tentang hal itu. Buku klasik ini membawa kita ke dalam dunia teori dramaturgi sosial. Goffman menggambarkan kehidupan sehari-hari sebagai panggung di mana individu-individu memainkan peran-peran yang berbeda dalam berbagai situasi.

Ia menjelaskan bagaimana manusia secara sadar mengelola kesan yang mereka buat tentang diri mereka sendiri untuk memengaruhi persepsi orang lain. Dengan menggunakan istilah-istilah teater, Goffman membahas konsep-konsep seperti “front stage” dan “back stage”, serta pentingnya tindakan-tindakan kecil dalam menciptakan kesan yang diinginkan.

Uniknya, para pembual, mampu menciptakan atmosfer yang memikat seperti kopi. Mereka ahli dalam memutarbalikkan kata-kata dan menyajikan cerita-cerita yang menggugah perasaan. Namun, seperti kopi yang kadang-kadang dikaitkan dengan kebohongan – ketika kafein mempengaruhi keadaan pikiran seseorang – pembual juga memiliki kecenderungan untuk mengubah fakta demi menarik perhatian dan mendapatkan persetujuan sosial.

Dalam psikologi sosial, fenomena ini sering dikaitkan dengan konsep “impression management” atau manajemen kesan, di mana individu berusaha untuk mengontrol bagaimana orang lain melihat dan menilai mereka. Pembual menggunakan kisah-kisah mereka sebagai alat untuk menciptakan gambaran diri yang lebih menarik di mata orang lain, meskipun kenyataannya bisa jauh dari yang sebenarnya.

Bacalah “The Need to Belong: Desire for Interpersonal Attachments as a Fundamental Human Motivation” oleh Roy F. Baumeister & Mark R. Leary (1995). Baumeister dan Leary menggali dalam kebutuhan dasar manusia untuk merasa terhubung dengan orang lain. Mereka menyoroti pentingnya ikatan interpersonal dalam membentuk identitas dan kesejahteraan individu. Dalam buku ini, mereka membahas bagaimana kebutuhan untuk diterima dan diakui oleh kelompok merupakan salah satu dorongan psikologis paling mendasar, yang memengaruhi perilaku individu dalam berbagai konteks sosial.

Kemiripan antara kopi dan pembual juga dapat dijelaskan melalui konsep “self-presentation” dalam psikologi. Seperti kopi yang dihidangkan dengan tampilan yang menarik, pembual seringkali memperhatikan bagaimana mereka disajikan di depan orang lain. Mereka memilih cerita-cerita yang paling memikat dan memperindah detail-detail untuk menciptakan kesan yang diinginkan.

Namun, seperti yang terungkap dalam buku-buku sosial dan psikologi, kedua fenomena ini tidak sepenuhnya negatif. Kopi, meskipun bisa menjadi candu, juga dapat meningkatkan kreativitas dan produktivitas. Demikian pula, pembual, dengan kemampuannya dalam bercerita, seringkali membangkitkan semangat dan memotivasi orang lain.

Meskipun keduanya dapat memiliki efek yang kuat pada interaksi sosial dan psikologis, namun dalam setiap cerita yang diceritakan, dan setiap tegukan kopi yang diminum, kita dapat menemukan kedalaman dan kekayaan akan pengalaman manusia yang tak terbatas.

Pikirkanlah adegan ini: para pendemo marah-marah di jalanan, suara teriakan mereka memecah hening malam. Tiba-tiba, terdengarlah undangan tak terduga: “Mari kita minum kopi bersama!” Seketika itu juga, suasana berubah dari tegang menjadi akrab. Para pemimpin yang didemo turun dari mobil mewahnya lalu bergandengan tangan dengan para pengunjuk rasa, menuju ke kedai kopi terdekat.

Di situ, di tengah-tengah bau harum kopi dan canda tawa yang tercipta, terjadi dialog yang tak terduga. Para pendemo dan penentu kebijakan yang mereka demo saling berbagi cerita tentang kehidupan sehari-hari, sambil sesekali menuangkan pikiran mereka tentang politik ke dalam cangkir kopi yang kian menipis.

Seketika, kekakuan politik luluh dalam gelas kopi. Mereka yang semula berlawanan pendapat menemukan kesamaan pikiran di antara aroma kopi yang menguar. Bahkan, ada yang tertawa bersama atas kekonyolan situasi politik yang mereka hadapi, seolah segelas kopi telah mengubah drama politik menjadi sitkom yang menghibur.

Dengan secangkir kopi di tangan, mereka tidak hanya menemukan semangat untuk bertindak, tetapi juga memperluas ruang untuk dialog yang lebih terbuka dan ramah. Di tengah gelak tawa dan canda yang mengalir, kejujuran dan transparansi pun menjadi lebih mudah dicapai. Siapa tahu, mungkin ide untuk mengundang para pendemo dan penentu kebijakan minum kopi bersama ini bisa menjadi inovasi yang mengubah dinamika politik. Mungkin saja, kejujuran akan menetas sambil tersenyum di tengah-tengah segelas kopi yang hangat.

Jadi, salah satu inovasinya mungkin yang tepat adalah mempersilakan para pengusaha kedai kopi untuk membuka stand khusus di sekitar gedung parlemen, Setiap ada demo maka kopi pun siap diseduh. Lantas pertanyaannya adalah, siapa yang bayar kopi?***

By Alfian Nawawi

Owner Kedai Kopi Litera

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *