Adakah yang bisa menghentikanmu minum kopi yang enak atau mengunyah sepiring es pisang ijo saat berbuka puasa di bulan Ramadhan? Apakah kopi susu masih bisa melewati tenggorokanmu saat di benakmu ada wajah anak Gaza yang cekung datang membawa panci kosong?
Saya sendiri menemukan diri saya di ruang ambigu, saat menghirup aroma makanan berbuka puasa sambil mendengar fakta bahwa saat Ramadhan dimulai, di wilayah Gaza utara, warga Palestina terpaksa menggiling pakan ternak untuk berbuka puasa, karena bantuan yang dikirimkan melalui udara gagal menjangkau ribuan warga Gaza yang kelaparan. Benar saja, “Gaza starving” hanya punya kekuatan tagar belaka di medsos.
Media Ibrani melaporkan bahwa penjajah Israel telah menyampaikan rencana untuk membubarkan Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB (UNRWA) di Jalur Gaza secara permanen.
Di meja-meja restoran dan kedai kopi yang berserak di kota-kota kita, Ramadhan disambut dengan hidangan berlimpah dan kehangatan obrolan, sebuah kontradiksi terselubung yang selalu bermain saat adzan menggema. Di sini, suasana berbuka puasa adalah pemandangan yang nyaman, di mana tangan-tangan menyelam ke dalam kelezatan takjil dan segelas minuman.
Namun, di sudut lain dunia, di Gaza, realitasnya terkoyak oleh narasi yang berbeda. Di sana, AK47 dan roket Al Yassin 105 milik pejuang Palestina lebih dikagumi anak-anak Gaza karena senjata-senjata itulah yang telah berjuang membela mereka. Dan tentu saja ledakan bom Zionis menggema lebih sering daripada suara adzan, di mana masjid-masjid mereka memang sudah lama hancur.
Anak-anak kelaparan di jalanan Gaza sangat berbeda dengan gemerincing piring dan gelas di kafe-kafe kita. Di sana, kehidupan bukanlah tentang memilih hidangan berbuka, melainkan tentang bertahan hidup di tengah reruntuhan dan kesedihan.
Dalam kontras ini, bagaimana mungkin kita tidak bisa tenggelam dalam kepiluan. Menikmati pisang ijo sambil bisa melupakan mereka yang bertarung dengan bayang-bayang kematian akibat genosida Zionis setiap hari? Ini adalah cerita tentang dua dunia yang bertemu namun tidak pernah bersentuhan – satu penuh dengan kelimpahan, yang lain direnggut dari kebahagiaannya.
Pilihan bagi kita hari ini adalah berhenti bercerita atau terus bercerita tentang Palestina. Kita tak bisa berbuat apa-apa selain memilih satu dari dua pilihan itu. Mungkin dengan satu pilihan itu, kita masih bisa menyesap kopi yang sebenarnya sudah lama hambar.
Ah, sudahlah, kita memang sudah lama selalu lebih suka bercerita tentang diri kita sendiri.***