Mengapa banyak orang telah menemui kopi dan tidak juga menemukan “puisi” di dalamnya? Rupanya itu sepenggal pertanyaan yang tak pernah selesai. Lantaran jawabannya yang substansial hanya selalu datang dari kopi sendiri. Dan kopi tak pernah benar-benar bercakap dengan peminumnya.

Jawabannya ada dalam larutan molekul pekat hitam meskipun kadang dicampur susu. Aromanya meruap dan disesap pencintanya. Setelah itu mereka pulang dan besok datang kembali. Mereka menagih rasa kopi yang persis kemarin? Bukan, sebenarnya mereka ingin menyesap ‘puisi’.

Sekali waktu Aristoteles menyebut kebahagiaan yang didambakan itu sebagai ‘eudaimonia’. Persis serupa kopi, barista, dan impian peminumnya.

Lain halnya pendapat Harari, kebahagiaan adalah proses mengenal diri. Kedua konsep kebahagiaan ini mengarah pada titik temu keduanya. Aristoteles berpendapat bahwa manusia memiliki tujuan yang perlu dicapainya melalui segala perbuatan.

Lebih 2000 tahun silam memang para filsuf dari Yunani bertanya-tanya “sebenarnya apa yang membuat manusia itu bahagia?”

Akhirnya, para filsuf menemukan jawabannya dan merumuskannya dalam bentuk Filsafat Stoa.
Filsafat Stoa mengusung kebahagiaan yang bagi sebagian orang tidak lazim. Kebahagiaan mungkin identik dengan duit yang banyak, jadi orang sukses, punya keluarga yang bahagia, tiap bulan liburan, dan semacamnya yang pasti berkaitan dengan material.

Para Stoic, penganut Filsafat Stoa mengatakan dalam bahasa Yunani bahwa kebahagiaan adalah ataraxia (A=tidak, tarassein=bermasalah).

Dari kata tersebut kita dapat melihat bahwa kebahagiaan itu tidak memiliki masalah (untroubled). Dalam bahasa yang lain, dapat disebut juga dengan apatheia (a=tidak, pathos=menderita). berarti, apatheia dapat berarti bebas dari penderitaan. Namun kopi bukan analogi yang terlalu sederhana untuk menggamit penjelasan ihwal syahwat perut yang selalu bentrok dengan ekspektasi.

Para peminum kopi memang sebagian datang meminum kopi dengan membawa pertanyaan, lebih tepatnya keinginan. Di kafe maupun di bawah jendela kamar maka kopi tetap saja bukan puisi. Meskipun rasa puas itu selalu ada pada tegukan pamungkas.

Begitulah, setiap orang nyaris pernah mencari bahagia di tempat wisata, ruang santai, hingga liburan.
Mengapa banyak orang berwisata dan berlibur namun tidak juga menemukan kepuasan batin? Di sudut lainnya, orang-orang bernyanyi namun tidak juga bisa mengentaskan kegelisahannya.

Lantaran itulah, tempat wisata semakin banyak. Rumah sakit pun kian bertambah. Fakultas kedokteran tetap dibuka. Anak-anak muda berbondong-bondong dengan satu mimpi, mereka ingin mengobati orang-orang sakit yang tak pernah berkurang.

Semakin banyak orang yang terlampau sibuk mencari kebahagiaannya di zaman smartphone. Platform dan aplikasi yang tak terhitung jumlahnya itu toh menjanjikan sesuatu.

Pada salah satu ‘kesibukan’ yang terbenam di ponsel itu mungkin akan menjadikannya mencapai ekstase, pencapaian tertentu. Namun jangan pernah bertanya kepada mereka ‘Apakah kamu sudah menemukannya?”

Kopi, wisata, liburan, bahkan seks, kesemuanya berjejal di antara analogi yang rumit untuk mencolek penjelasan detail perihal ‘cara berbahagia’ yang lebih dekat maknanya pada ‘bersenang-senang’.
Lantaran kopi dan teman-temannya itu hanya kegemaran, kesenangan, sebuah proses mencapai cita rasa maka di sana tak ada bahagia. Sebab defenisi bahagia tak pernah berjalan linear dengan rasa senang.

Ah, Stoa, saya curiga dia tidak pernah menikmati kopi dalam cara yang sebenarnya.***

By Alfian Nawawi

Owner Kedai Kopi Litera

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *