Di sudut Kedai Kopi Litera, di mana aroma kopi bercampur menjadi satu di udara, sosok pria dengan brewok lebat ini kerap terlihat. Dia adalah Sri Puswandi, seorang petani muda dari Desa Salassae, Kecamatan Bulukumpa, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan.
Wajahnya, yang sering terserak dengan ekspresi serius, melunak saat dia menyesap kopi susu. Ada ketenangan yang menyelimuti rautnya, sebuah perpaduan antara kelelahan dan kepuasan. Di antara para pelanggan yang datang dan pergi, Wandi, sapaan akrabnya, menonjol dengan keunikannya: seorang petani muda yang tidak hanya akrab dengan tanah dan tanaman, tapi juga menanam ide-ide baru untuk masa depan pertanian di desanya.
Wandi juga tercatat beberapa kali menjadi narasumber dalam acara podcast di channel YouTube Kedai Kopi Litera. Tentu saja tema konten videonya berkutat di seputar dunia pertanian dan isu-isu lingkungan.
Lahir dan tumbuh di lingkungan agraris, Wandi telah mengembangkan ketertarikan dan keahlian dalam bertani sejak usia muda. Bukan hanya seorang petani biasa, dia adalah sosok yang memikirkan masa depan pertanian di tanah kelahirannya.
Sebagai Ketua Dana Mitra Tani, Wandi memainkan peran kunci dalam geliat lembaganya untuk mengubah wajah pertanian di Kabupaten Bulukumba. Lembaga ini, di bawah kepemimpinannya, tidak hanya fokus pada aspek finansial, tetapi juga pada pengembangan kapasitas dan pengetahuan petani. Salah satu inisiatif utama yang ia bawa adalah program pembinaan untuk petani gula aren di Daerah Aliran Sungai (DAS) Balangtieng.
Program yang digulirkan oleh DMT merupakan hasil kolaborasi yang kuat antara GEF SGP, Yayasan Bina Usaha Lingkungan, dukungan dari lembaga PBB yaitu UNDP, dan Balang Institute sebagai lembaga penyelenggara dalam inisiatif yang merangkai potensi besar di Balangtieng.
Program ini bukan sekadar mengajarkan teknik bertani yang lebih efektif, tetapi juga menanamkan kesadaran ekologis di kalangan petani. Wandi memahami bahwa keberlanjutan lingkungan adalah kunci bagi masa depan pertanian yang sehat dan produktif. Ia mendorong petani untuk menerapkan praktik-praktik pertanian yang ramah lingkungan, seperti penggunaan pupuk organik dan pengelolaan sumber air secara berkelanjutan.
Di samping itu, Wandi juga aktif dalam mengajak petani untuk mendirikan dan memperkuat koperasi petani. Ia meyakini bahwa dengan kerjasama dan solidaritas, petani kecil dapat memiliki suara yang lebih kuat dan akses yang lebih baik terhadap pasar. Melalui koperasi, petani gula aren bisa menjual hasil panen mereka dengan harga yang lebih adil, meningkatkan kesejahteraan mereka secara kolektif.
Sekali waktu, di dalam hangatnya pelukan Kedai Kopi Litera, di mana waktu tampak berjingkat lembut di antara celah-celah aroma kopi, Wandi duduk menyeruput kisah hidup dalam secangkir kopi. Di sini, di antara dinding-dinding yang bersahabat dengan cerita dan tawa, ia memetik inspirasi dan menanam harapan.
Saya bertanya kepadanya tentang cerita dan mimpinya bersama Dana Mitra Tani.
“Dulu, kami bagaikan pulau-pulau terpisah, kini kami menjadi satu daratan yang subur. Kami bukan lagi individu-individu terpisah, tapi menjadi rangkaian bunga di taman yang sama,” jawabnya penuh kiasan.
Sekitar kami, serupa dengan lukisan Van Gogh di malam hari, kami membayangkan petani-petani yang dahulu terbenam dalam keraguan, kini bercahaya dalam semangat baru. Wandi, dengan cangkir kopi yang menemaninya, menjadi pelita yang menerangi jalan kebersamaan dan kemajuan.
“Lampu penerang di DAS Balangtieng misalnya, seperti apa harapan itu, bung?”
“Harapan saya, seperti langit di atas Bulukumba yang membiru, adalah agar petani bukan hanya sekadar bertahan, tapi mekar bagai taman di musim semi. Saya ingin agar para petani di sini merasakan bahwa tanah kelahiran mereka adalah tanah impian yang bisa tumbuh dan berkembang,” terangnya, lalu menyeruput lagi kopinya.
Wandi, dengan tatapan yang menjangkau langit harapan, bukan hanya petani, tetapi juga ‘penyair tanah’, yang mengolah kata-kata dan tanah dengan semangat yang gembur.***